Lukisan dan desain Foto Oleh: Snowelwing Iyai
Oleh:
Andreas M.Yeimo
Suhu politik
Pembebesan Nasional Papua Barat, berada pada kanca Internasional. Rakyat tidak diam, rakyat ingin merebut
kemerdekaannya, Papua diintegrasikan ke dalam NKRI melalui penentuan pendapat
rakyat (Pepera) tahun 1969, yang diikuti oleh 1.025 orang mewakili 809.337 jiwa
orang Papua waktu itu.
Sejarah
mencatat bahwa Pepera cacat hukum karena mengabaikan prinsip satu orang satu
suara (one man one vote), seperti yang diamanatkan dalam perjanjian New York 15
September 1962. Lebih parah lagi, peserta Pepera sebagian diikuti oleh orang
non-Papua. Proses integrasi Papua ke dalam NKRI yang tidak memenuhi unsur
keadilan ini, menimbulkan gejolak sampai saat ini. Invasi Indonesia ke Papua,
yang dilancarkan secara terbuka sejak rapat akbar di Yogyakarta, pada 19
Desember 1961 melalui amanat Trikora, memuluskan langkah Indonesia untuk
menduduki Papua. [1]
Orang Papua
yang memberontak karena hendak mempertahankan negara Papua Barat yang
dideklarasikan pada 1 Desember 1961 dibunuh. Berbagai operasi militer dilakukan
untuk menghancurkan gerakan Papua merdeka. Namun, berbagai operasi militer itu,
tidak serta merta mematikan ideologi Papua merdeka. Bahkan kini, gerakan Papua
merdeka makin menjamur.
Salah satu
kelompok paling radikal yang turun ke jalan-jalan protokol untuk menyuarakan
digelarnya refrendum adalah komite nasional Papua Barat (KNPB). KNPB berupaya
memperjuangkan kedaulatan Bangsa Papua.
Rangkaian demonstrasi menuntut refrendum sering dilakukan.
Seringkali
demonstrasi berujung penangkapan yang di lakukan oleh aparat
kemananan.Contohnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam keras
penangkapan 1.724 aktivis dalam demonstrasi damai yang dilaksanakan
serempak pada tanggal, 3 –Mei- 2016 di
Jayapura, Sorong, Merauke, Fakfak, Wamena, Semarang dan Makassar. Aksi
dilakukan dalam rangka mendukung United Liberation Movement for West Papua
(ULMWP) masuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG).[2]
Di balik tuntutan refrendum, sebenarnya ada
pesan yang hendak disampaikan yakni Indonesia perlu memperlakukan orang Papua
sebagai manusia bermartabat. Demonstrasi KNPB dan berbagai gerakan sosial di
Papua memiliki motif yang sama yakni ketidakpuasan orang Papua berintegrasi
dengan Indonesia. Indikatornya sederhana, orang Papua tetap miskin di negerinya
yang kaya.
Orang Papua
dibunuh oleh aparat keamanan Indonesia. Sumber daya alam dikuasai oleh
pemerintah Indonesia. Pada saat yang sama, orang Papua tidak bisa menikmati
pendidikan, pelayanan kesehatan dan ekonomi yang baik. Saat ini, penduduk Papua
didominasi oleh para pendatang.
Contohnya:
Bagaimana jumlah populasi OAP dulu, kini, dan Esok? Hasil publikasi Dr. Jim
Elmslie & Dr. Camelliabell Webb Gannon, dari University of Sydney’s for
Peace & Conflict Studies in Australia, sangat mencengangkan. Dua tahun
setelah PEPERA 1969, jumlah orang papua terdata 96 % atau 887.000 jiwa dari
total 923.000. Pada Tahun 1971 itu penduduk Non Papua hanya 36.000 (4%), tetapi
setelah 53 tahun Papua dalam NKRI yaitu tahun 1971 jumlah Non Papua sudah
melonjak tajam mencapai 1.956 juta (53 %) sedangkan orang asli Papua menurun
menjadi 1.7 juta (47 %). Data publikasi Dr. Jim dan Dr. Camellie dari Australia
tersebut kembali dianalisis oleh bapak Ir. Yan Awikaitumaa Ukago, M.M, di
Jayapura pada (10/8/2015).[3]
Sektor-sektor
strategis dikuasai oleh non Papua. Orang Papua kurang dilibatkan, sehingga
tetap terbelakang. Hampir seluruh kota di Papua dikuasai oleh para pendatang.
Sedangkan orang asli Papua tersingkir ke wilayah pedalaman yang minim sarana
pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang baik. Orang Papua semakin tertinggal,
sedangkan para pendatang makin maju dalam berbagai aspek. Situasi ini
menimbulkan jurang kecemburuan sosial yang dalam.
Kebijakan
pemerintah pusat kurang berpihak pada orang Papua selaku pemilik tanah Papua.
Upaya pendekatan pemerintah pusat terhadap Papua seringkali bersifat
militeristik. Kecurigaan pemerintah pusat terhadap orang Papua berlebihan.
Selain itu, gerakan-gerakan sosial selalu dihadapi dengan upaya represif. Orang
Papua merasa tidak bebas dan tidak nyaman hidup di atas negerinya.
Potret
seperti inilah yang mendorong banyak kalangan di Papua, salah satunya KNPB
menuntut refrendum bagi Papua. Pemerintah pusat merasa berhak mengatur Papua
sesukanya. Integrasi Papua ke dalam NKRI melalui Pepera 1969 dianggap final dan
mengikat serta tidak dapat diperdebatkan.
Untuk
mempertahankan Papua, dibangun markas-markas militer di seluruh pelosok tanah
Papua. Padahal kehadiran militer tidak menjamin bahwa Papua akan tetap menjadi
bagian dari NKRI. Sebab, orang Papua tidak membutuhkan militer, yang datang
untuk membunuh orang Papua. Orang Papua membutuhkan guru, petugas medis,
penyuluh pertanian dan para pegiat sosial yang mendidik dan melayani orang
Papua.
Untuk
mempertahankan Papua agar tetap berada bersama NKRI, perlu dilakukan kajian
mendalam tentang sejarah Papua dan ideologi Papua. Pemerintah pusat perlu
merangkul segenap orang Papua, dengan memberikan ruang bagi orang Papua untuk
mengekspresikan hidup dan masa depannya. Akses media dan lembaga asing ke Papua
perlu dibuka.
Pendekatan
militer dan sikap represif dalam menghadapi orang Papua harus dihentikan.
Diskriminasi dan stigmatisasi orang Papua bodoh, hitam, keriting, bau, dan lain
sejenisnya harus dihentikan. Orang Papua harus dilibatkan dalam seluruh proses
penentuan kebijakan untuk Papua yang lebih baik. Bukan sebaliknya, pemerintah
pusat membuat kebijakan secara sepihak untuk dilaksanakan di Papua.
Sampai saat
ini Papua masih bermasalah. Pepera 1969 tidak serta merta membuat Papua aman di
dalam NKRI. Ketidakadilan dalam pelaksanaannya menyebabkan Papua tetap memanas.
Suhu politik tidak kunjung surut. Gerakan menuntut pengembalian kedaulatan
Papua semakin gencar disuarakan. Dengan
arah juang jalas, melawan sistem yang di oleh penguasa kaum burjois, rakyat hannya
menuntut Pembesan Nasional guna menyelamatkan Tanah dan Manusia Papua.[4]
Maka
mengatasi konflik antara 2 nasioanalisme di Papua bukan dengan pendekatan
kesejahteraan. Bukan dengan Otsus. Bukan dengan UP4B. Bukan dengan Pemekaran
wilayah. Itu semua adalah solusi yang dimunculkan oleh Indonesia, yang tidak
sesuai, untuk menyembuhkan konflik di Papua.
Kuncinya
adalah, adakan dialog bermartabat sebagai dua bangsa yang setara, antara
Indonesia dan Papua, dimediasi pihak ketiga yang netral. Bila tidak, adakan
Penentuan Pendapat Rakyat. Disanalah Orang Papua akan berbicara tentang
keinginnannya untuk hidup mereka ke depan, sebagai sebuah bangsa secara
bermartabat, tidak lagi di bawah tekanan militer, seperti ketika PEPERA 1969.
Terakhir, jangan katakan lagi, PEPERA 1969 sudah final, karena semua orang
Papua sekarang semakin mengerti, bahwa PEPERA 1969 telah dimanipulasi
Indonesia.
Penulis
adalah Mahsiswa Papua Kuliah di Yogyakarta
Refrensi:
[1].
http://tabloidjubi.com/2013/07/25/pepera-1969-sebuah-renungan/
[2].
http://tabloidjubi.com/2016/05/03/hampir-2-000-orang-ditangkap-lbh-rakyat-papua-tidak-sendirian/
[3].
http://suarabaptispapua.org/2015/09/pemerintah-indonesia-sengaja-memusnahkan-orang-asli-papua-dari-pendekatan-transmigrasi-di-tanah-papua/
[4].
http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/papua_555e63e73697733a1ce74ae4