photo anigifklll_zps3axosl7h.gif
» » Papua dalam Pembebasan Bangsa

Papua dalam Pembebasan Bangsa

Penulis By on Sunday, 28 August 2016 | No comments

Lukisan dan desain Foto Oleh: Snowelwing Iyai


Oleh: Andreas M.Yeimo

Suhu politik Pembebesan Nasional Papua Barat, berada pada kanca Internasional. Rakyat  tidak diam, rakyat ingin merebut kemerdekaannya, Papua diintegrasikan ke dalam NKRI melalui penentuan pendapat rakyat (Pepera) tahun 1969, yang diikuti oleh 1.025 orang mewakili 809.337 jiwa orang Papua waktu itu.


Sejarah mencatat bahwa Pepera cacat hukum karena mengabaikan prinsip satu orang satu suara (one man one vote), seperti yang diamanatkan dalam perjanjian New York 15 September 1962. Lebih parah lagi, peserta Pepera sebagian diikuti oleh orang non-Papua. Proses integrasi Papua ke dalam NKRI yang tidak memenuhi unsur keadilan ini, menimbulkan gejolak sampai saat ini. Invasi Indonesia ke Papua, yang dilancarkan secara terbuka sejak rapat akbar di Yogyakarta, pada 19 Desember 1961 melalui amanat Trikora, memuluskan langkah Indonesia untuk menduduki Papua. [1]


Orang Papua yang memberontak karena hendak mempertahankan negara Papua Barat yang dideklarasikan pada 1 Desember 1961 dibunuh. Berbagai operasi militer dilakukan untuk menghancurkan gerakan Papua merdeka. Namun, berbagai operasi militer itu, tidak serta merta mematikan ideologi Papua merdeka. Bahkan kini, gerakan Papua merdeka makin menjamur.


Salah satu kelompok paling radikal yang turun ke jalan-jalan protokol untuk menyuarakan digelarnya refrendum adalah komite nasional Papua Barat (KNPB). KNPB berupaya memperjuangkan kedaulatan Bangsa  Papua. Rangkaian demonstrasi menuntut refrendum sering dilakukan.

Seringkali demonstrasi berujung penangkapan yang di lakukan oleh aparat kemananan.Contohnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam keras penangkapan 1.724 aktivis dalam demonstrasi damai yang dilaksanakan serempak  pada tanggal, 3 –Mei- 2016 di Jayapura, Sorong, Merauke, Fakfak, Wamena, Semarang dan Makassar. Aksi dilakukan dalam rangka mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) masuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG).[2]


Di balik tuntutan refrendum, sebenarnya ada pesan yang hendak disampaikan yakni Indonesia perlu memperlakukan orang Papua sebagai manusia bermartabat. Demonstrasi KNPB dan berbagai gerakan sosial di Papua memiliki motif yang sama yakni ketidakpuasan orang Papua berintegrasi dengan Indonesia. Indikatornya sederhana, orang Papua tetap miskin di negerinya yang kaya.

Orang Papua dibunuh oleh aparat keamanan Indonesia. Sumber daya alam dikuasai oleh pemerintah Indonesia. Pada saat yang sama, orang Papua tidak bisa menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan dan ekonomi yang baik. Saat ini, penduduk Papua didominasi oleh para pendatang.

Contohnya: Bagaimana jumlah populasi OAP dulu, kini, dan Esok? Hasil publikasi Dr. Jim Elmslie & Dr. Camelliabell Webb Gannon, dari University of Sydney’s for Peace & Conflict Studies in Australia, sangat mencengangkan. Dua tahun setelah PEPERA 1969, jumlah orang papua terdata 96 % atau 887.000 jiwa dari total 923.000. Pada Tahun 1971 itu penduduk Non Papua hanya 36.000 (4%), tetapi setelah 53 tahun Papua dalam NKRI yaitu tahun 1971 jumlah Non Papua sudah melonjak tajam mencapai 1.956 juta (53 %) sedangkan orang asli Papua menurun menjadi 1.7 juta (47 %). Data publikasi Dr. Jim dan Dr. Camellie dari Australia tersebut kembali dianalisis oleh bapak Ir. Yan Awikaitumaa Ukago, M.M, di Jayapura pada (10/8/2015).[3]

Sektor-sektor strategis dikuasai oleh non Papua. Orang Papua kurang dilibatkan, sehingga tetap terbelakang. Hampir seluruh kota di Papua dikuasai oleh para pendatang. Sedangkan orang asli Papua tersingkir ke wilayah pedalaman yang minim sarana pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang baik. Orang Papua semakin tertinggal, sedangkan para pendatang makin maju dalam berbagai aspek. Situasi ini menimbulkan jurang kecemburuan sosial yang dalam.

Kebijakan pemerintah pusat kurang berpihak pada orang Papua selaku pemilik tanah Papua. Upaya pendekatan pemerintah pusat terhadap Papua seringkali bersifat militeristik. Kecurigaan pemerintah pusat terhadap orang Papua berlebihan. Selain itu, gerakan-gerakan sosial selalu dihadapi dengan upaya represif. Orang Papua merasa tidak bebas dan tidak nyaman hidup di atas negerinya.

Potret seperti inilah yang mendorong banyak kalangan di Papua, salah satunya KNPB menuntut refrendum bagi Papua. Pemerintah pusat merasa berhak mengatur Papua sesukanya. Integrasi Papua ke dalam NKRI melalui Pepera 1969 dianggap final dan mengikat serta tidak dapat diperdebatkan.

Untuk mempertahankan Papua, dibangun markas-markas militer di seluruh pelosok tanah Papua. Padahal kehadiran militer tidak menjamin bahwa Papua akan tetap menjadi bagian dari NKRI. Sebab, orang Papua tidak membutuhkan militer, yang datang untuk membunuh orang Papua. Orang Papua membutuhkan guru, petugas medis, penyuluh pertanian dan para pegiat sosial yang mendidik dan melayani orang Papua.

Untuk mempertahankan Papua agar tetap berada bersama NKRI, perlu dilakukan kajian mendalam tentang sejarah Papua dan ideologi Papua. Pemerintah pusat perlu merangkul segenap orang Papua, dengan memberikan ruang bagi orang Papua untuk mengekspresikan hidup dan masa depannya. Akses media dan lembaga asing ke Papua perlu dibuka.

Pendekatan militer dan sikap represif dalam menghadapi orang Papua harus dihentikan. Diskriminasi dan stigmatisasi orang Papua bodoh, hitam, keriting, bau, dan lain sejenisnya harus dihentikan. Orang Papua harus dilibatkan dalam seluruh proses penentuan kebijakan untuk Papua yang lebih baik. Bukan sebaliknya, pemerintah pusat membuat kebijakan secara sepihak untuk dilaksanakan di Papua.

Sampai saat ini Papua masih bermasalah. Pepera 1969 tidak serta merta membuat Papua aman di dalam NKRI. Ketidakadilan dalam pelaksanaannya menyebabkan Papua tetap memanas. Suhu politik tidak kunjung surut. Gerakan menuntut pengembalian kedaulatan Papua semakin gencar disuarakan.  Dengan arah juang jalas, melawan sistem yang di oleh penguasa kaum burjois, rakyat hannya menuntut Pembesan Nasional guna menyelamatkan Tanah dan Manusia Papua.[4]


Maka mengatasi konflik antara 2 nasioanalisme di Papua bukan dengan pendekatan kesejahteraan. Bukan dengan Otsus. Bukan dengan UP4B. Bukan dengan Pemekaran wilayah. Itu semua adalah solusi yang dimunculkan oleh Indonesia, yang tidak sesuai, untuk menyembuhkan konflik di Papua.

Kuncinya adalah, adakan dialog bermartabat sebagai dua bangsa yang setara, antara Indonesia dan Papua, dimediasi pihak ketiga yang netral. Bila tidak, adakan Penentuan Pendapat Rakyat. Disanalah Orang Papua akan berbicara tentang keinginnannya untuk hidup mereka ke depan, sebagai sebuah bangsa secara bermartabat, tidak lagi di bawah tekanan militer, seperti ketika PEPERA 1969. Terakhir, jangan katakan lagi, PEPERA 1969 sudah final, karena semua orang Papua sekarang semakin mengerti, bahwa PEPERA 1969 telah dimanipulasi Indonesia.


Penulis adalah Mahsiswa Papua Kuliah di Yogyakarta



Refrensi:

[1]. http://tabloidjubi.com/2013/07/25/pepera-1969-sebuah-renungan/

[2]. http://tabloidjubi.com/2016/05/03/hampir-2-000-orang-ditangkap-lbh-rakyat-papua-tidak-sendirian/

[3]. http://suarabaptispapua.org/2015/09/pemerintah-indonesia-sengaja-memusnahkan-orang-asli-papua-dari-pendekatan-transmigrasi-di-tanah-papua/

[4]. http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/papua_555e63e73697733a1ce74ae4
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya