Foto Ist Dok Pribadi PELITA PAPUA
Oleh: Andreas M. Yeimo
Suhu politik
di Papua belum Finis. Tuntutan pengembalian kedaulatan Papua terus digemakan.
Ketidakadilan dan minimnya penghormatan terhadap martabat dan hak asasi orang
Papua menjadi pemicu konflik utama di Papua saat ini.
****
Sebagian
besar orang Papua asli merana. Apa ukuran mengatakan orang Papua asli merana?
Setiap mata melihat Mama-Mama Papua berjualan di pinggir jalan dan emperan
toko. Anak-anak Papua asli sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan.
Gizi buruk menimpa ibu hamil dan anak-anak Papua asli. Setiap telinga mendengar
jerit tangis orang Papua asli yang tinggal di rumah-rumah kumuh, tanpa
fasilitas listrik. Tetapi, siapa yang mau peduli terhadap penderitaan dan jerit
tangis orang Papua saat ini?
Penderitaan
yang dialami oleh orang Papua asli saat ini, seyogianya mendatangkan simpati
dan solidaritas dari dalam komunitas dan suku-suku orang Papua asli. Kita
mengenal ada tujuh wilayah adat di Papua yaitu Mamta, Saereri, Domberai,
Bomberai, Anim Ha, La Pago, Mee Pago. Masing-masing wilayah adat memiliki
tanggung jawab untuk saling memperhatikan dan saling melengkapi. Baik susah
maupun senang harus dijalani bersama dalam komunitas-komunitas adat itu. Perlu
ada gerakan bersama untuk bangkit dari penderitaan berkepanjangan. Semua harus
dimulai dari komunitas adat di masing-masing wilayah.
Saat ini,
kita menyaksikan belum ada upaya serius dari masing-masing wilayah adat untuk
memproteksi wilayahnya dari gempuran perusahaan yang menghancurkan hutan
masyarakat adat. Konversi hutan dengan perkebunan kelapa dan berbagai tanaman
industri lainnya hanya menimbulkan permasalahan bagi masyarakat adat.
Pemerintah
dan perusahaan biasa mengatakan bahwa kehadiran investor untuk menyejahterakan
masyarakat adat, tetapi fakta membuktikan bahwa ketika perusahaan masuk,
masyarakat makin menderita.
Hutan
dibabat habis, Kayu dibawa ke luar
Papua, Sumber-sumber makanan hilang, masyarakat adat, yang adalah orang Papua
asli menderita. Papua memiliki banyak permasalahan. Banyak pihak (pemerintah
Indonesia dan para cendikiawan Papua asli) mengetahui hal itu. Tetapi, berapa
orang yang mau peduli terhadap penderitaan orang Papua asli ini? Orang Papua
asli yang sedang menderita sering menuntut pihak luar untuk memperhatikan
mereka. Orang Papua asli minta berbagai program dan kebijakan pembangunan untuk
berpihak mereka. Bahkan karena tuntutan itu, saat ini para pejabat di Papua
hampir semuanya orang Papua asli.
Gubernur dan
Bupati/Walikota adalah orang Papua asli. Apakah orang Papua asli, pemilik tanah
ini mau peduli pada penderitaan yang sedang dialaminya? Kita semua menyaksikan
bahwa saat ini belum ada solidaritas internal orang Papua asli. Masih ada
stigma Gunung-Pantai, Utara-Selatan. Stigma negatif saling dilontarkan di dalam
orang Papua sendiri, yang secara tidak langsung memecah-belah persatuan dan
kesatuan orang Papua. Perlu ada perjumpaan intensif untuk membangun solidaritas
internal orang Papua asli. Pada titik inilah Dewan Adat Papua mestinya berperan
aktif. Kalau Dewan Adat Papua membisu, orang Papua asli mau dibawa ke mana?
Situasi ini sudah seharusnya menggugah hati orang Papua asli untuk kembali ke
jati dirinya sebagai manusia sejati yang siap melayani sesama tanpa pamrih.
Kalau orang
Papua sudah tidak peduli dengan sesamanya orang Papua, lalu mau mengharapkan
siapa? Orang Papua harus membanguna solidaritas dan saling memperhatikan untuk
masa depan Papua yang lebih baik. Orang Papua tidak bisa hanya menuntut ini dan
itu terhadap pemerintah di Jakarta. Orang Papua harus bertindak konkret untuk
menyelamatkan generasi Papua.
Hanya orang
Papua yang bisa bangun dirinya sendiri dan sesamanya orang Papua, bukan pihak
luar. Seperti yang di katakan oleh Pdt. I.S. Kijne, ”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban
orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat
tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin
dirinya sendiri,” Wasior-Manokwari, tanggal 25 Oktober 1925. [1]
Kita tidak
bisa menyangkal bahwa saat ini sebagian orang Papua sudah lupa dan tidak peduli
pada sesamanya, budaya, adat dan bahasanya sendiri. Banyak anak-anak Papua asli
atau peranakan yang sudah lupa budaya, adat dan bahasa daerah. Ada pribahsa tetua adat suke Mee yang biasanya
mengatakan kepada anak cucunya bahwa “Iniya
Mana Kodoya emino meka Nitopitai.” Yang artinya (Meskipun bahasa kita
sendiri tetapi orang luar yang akan mengajar kita.)
Bagaimana
bisa orang Papua asli menuntut keadilan kepada Indonesia, sementara internal
orang Papua terpecah-belah? Orang Papua harus bersatu memperjuangkan
penderitaannya secara bersama-sama sesuai dengan budaya adat yang berada di setiap 7 Suku Wilayah adat di Tanah
Papua.
Situasi di Papua saat ini sebenarnya dalam
status darurat. Ada darurat HAM, miras, HIV/AIDS, malaria, anak aibon, narkoba,
korupsi dan lain sejenisnya. Setiap hari ada peristiwa pilu melanda tanah
Papua, kematian demi kematian, kekerasan demi kekerasan datang silih berganti.
Ironisnya, orang Papua asli masih tercerai-berai.
Situasi
Papua kian kelam. Orang Papua asli makin termarginal. Proses pendidikan,
pelayanan kesehatan dan perekonomian orang Papua tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Keadaan ini sudah seharusnya memicu orang Papua untuk bersatu
membangun Papua. Orang Papua harus memulainya. Jangan tunggu pihak luar. Jangan
menuntut orang luar untuk datang mengajar anak-anak Papua. Jangan menunggu
orang luar untuk datang melayani orang Papua di kampung-kampung.[2]
Orang Papua
asli harus menunjukkan bahwa orang Papua bisa melayani sesamanya orang Papua, ada
seorang guru saya di SMA Adhi Luhur
Nabire pernah mengatakan bahwa, “Anak-anak Papua yang menjadi guru,
mantri, bidan, penyuluh pertanian harus betah mendidik serta melatih orang
Papua untuk bisa baca, tulis dan hitung. Mantri dan bidan harus betah untuk
melayani dan mengajari orang Papua tentang pola hidup sehat. Penyuluh pertanian
harus betah melatih orang Papua tentang cara bertani yang baik dan benar.”
Sekali lagi, orang Papua harus menjadi guru dan tuan di atas tanahnya sendiri.
****
Apa pun
keadaan yang dialami oleh orang Papua saat ini, semuanya berpulang kembali
kepada orang Papua sebagai pemilik tanah. Pihak luar hanya numpang tinggal dan
mencari rezeki. Orang Papua asli yang menentukan masa depan Papua akan menjadi
seperti apa. Semuanya sangat tergantung kepada orang Papua. Karena itu, mulai
saat ini dan ke depan, orang Papua harus berani keluar dari sikap egoisnya dan
bersama-sama merebut kembali, Tanah dan
Manusia Papua yang sedang dalam kepunahaan.
Penulis adalah Mahsiswa
Papua Kuliah di Yogyakarta.
Refrensi:
[1].
http://indoprogress.com/2015/06/pemekaran-dan-proses-pemusnahan-manusia-papua-melalui-pendidikan/
[2].
http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/dari-papua-untuk-papua_56ef6c6ac2afbd2719fb3aa0