photo anigifklll_zps3axosl7h.gif
» » Semua Arah Juang Untuk Bangsa Papua

Semua Arah Juang Untuk Bangsa Papua

Penulis By on Thursday, 25 August 2016 | No comments

Foto Ist Dok Pribadi PELITA PAPUA



Oleh: Andreas M. Yeimo


Suhu politik di Papua belum Finis. Tuntutan pengembalian kedaulatan Papua terus digemakan. Ketidakadilan dan minimnya penghormatan terhadap martabat dan hak asasi orang Papua menjadi pemicu konflik utama di Papua saat ini. 

****
Sebagian besar orang Papua asli merana. Apa ukuran mengatakan orang Papua asli merana? Setiap mata melihat Mama-Mama Papua berjualan di pinggir jalan dan emperan toko. Anak-anak Papua asli sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Gizi buruk menimpa ibu hamil dan anak-anak Papua asli. Setiap telinga mendengar jerit tangis orang Papua asli yang tinggal di rumah-rumah kumuh, tanpa fasilitas listrik. Tetapi, siapa yang mau peduli terhadap penderitaan dan jerit tangis orang Papua saat  ini? 

Penderitaan yang dialami oleh orang Papua asli saat ini, seyogianya mendatangkan simpati dan solidaritas dari dalam komunitas dan suku-suku orang Papua asli. Kita mengenal ada tujuh wilayah adat di Papua yaitu Mamta, Saereri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La Pago, Mee Pago. Masing-masing wilayah adat memiliki tanggung jawab untuk saling memperhatikan dan saling melengkapi. Baik susah maupun senang harus dijalani bersama dalam komunitas-komunitas adat itu. Perlu ada gerakan bersama untuk bangkit dari penderitaan berkepanjangan. Semua harus dimulai dari komunitas adat di masing-masing wilayah

Saat ini, kita menyaksikan belum ada upaya serius dari masing-masing wilayah adat untuk memproteksi wilayahnya dari gempuran perusahaan yang menghancurkan hutan masyarakat adat. Konversi hutan dengan perkebunan kelapa dan berbagai tanaman industri lainnya hanya menimbulkan permasalahan bagi masyarakat adat.
Pemerintah dan perusahaan biasa mengatakan bahwa kehadiran investor untuk menyejahterakan masyarakat adat, tetapi fakta membuktikan bahwa ketika perusahaan masuk, masyarakat makin menderita. 

Hutan dibabat habis,  Kayu dibawa ke luar Papua, Sumber-sumber makanan hilang, masyarakat adat, yang adalah orang Papua asli menderita. Papua memiliki banyak permasalahan. Banyak pihak (pemerintah Indonesia dan para cendikiawan Papua asli) mengetahui hal itu. Tetapi, berapa orang yang mau peduli terhadap penderitaan orang Papua asli ini? Orang Papua asli yang sedang menderita sering menuntut pihak luar untuk memperhatikan mereka. Orang Papua asli minta berbagai program dan kebijakan pembangunan untuk berpihak mereka. Bahkan karena tuntutan itu, saat ini para pejabat di Papua hampir semuanya orang Papua asli. 

Gubernur dan Bupati/Walikota adalah orang Papua asli. Apakah orang Papua asli, pemilik tanah ini mau peduli pada penderitaan yang sedang dialaminya? Kita semua menyaksikan bahwa saat ini belum ada solidaritas internal orang Papua asli. Masih ada stigma Gunung-Pantai, Utara-Selatan. Stigma negatif saling dilontarkan di dalam orang Papua sendiri, yang secara tidak langsung memecah-belah persatuan dan kesatuan orang Papua. Perlu ada perjumpaan intensif untuk membangun solidaritas internal orang Papua asli. Pada titik inilah Dewan Adat Papua mestinya berperan aktif. Kalau Dewan Adat Papua membisu, orang Papua asli mau dibawa ke mana? Situasi ini sudah seharusnya menggugah hati orang Papua asli untuk kembali ke jati dirinya sebagai manusia sejati yang siap melayani sesama tanpa pamrih. 

Kalau orang Papua sudah tidak peduli dengan sesamanya orang Papua, lalu mau mengharapkan siapa? Orang Papua harus membanguna solidaritas dan saling memperhatikan untuk masa depan Papua yang lebih baik. Orang Papua tidak bisa hanya menuntut ini dan itu terhadap pemerintah di Jakarta. Orang Papua harus bertindak konkret untuk menyelamatkan generasi Papua. 

Hanya orang Papua yang bisa bangun dirinya sendiri dan sesamanya orang Papua, bukan pihak luar. Seperti yang di katakan oleh Pdt. I.S. Kijne,   ”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri,” Wasior-Manokwari, tanggal 25 Oktober 1925. [1]

Kita tidak bisa menyangkal bahwa saat ini sebagian orang Papua sudah lupa dan tidak peduli pada sesamanya, budaya, adat dan bahasanya sendiri. Banyak anak-anak Papua asli atau peranakan yang sudah lupa budaya, adat dan bahasa daerah.  Ada pribahsa tetua adat suke Mee yang biasanya mengatakan kepada anak cucunya bahwa “Iniya Mana Kodoya emino meka Nitopitai.” Yang artinya (Meskipun bahasa kita sendiri tetapi orang luar yang akan mengajar kita.)

Bagaimana bisa orang Papua asli menuntut keadilan kepada Indonesia, sementara internal orang Papua terpecah-belah? Orang Papua harus bersatu memperjuangkan penderitaannya secara bersama-sama sesuai dengan budaya adat yang  berada di setiap 7 Suku Wilayah adat di Tanah Papua.

 Situasi di Papua saat ini sebenarnya dalam status darurat. Ada darurat HAM, miras, HIV/AIDS, malaria, anak aibon, narkoba, korupsi dan lain sejenisnya. Setiap hari ada peristiwa pilu melanda tanah Papua, kematian demi kematian, kekerasan demi kekerasan datang silih berganti. Ironisnya, orang Papua asli masih tercerai-berai.
Situasi Papua kian kelam. Orang Papua asli makin termarginal. Proses pendidikan, pelayanan kesehatan dan perekonomian orang Papua tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keadaan ini sudah seharusnya memicu orang Papua untuk bersatu membangun Papua. Orang Papua harus memulainya. Jangan tunggu pihak luar. Jangan menuntut orang luar untuk datang mengajar anak-anak Papua. Jangan menunggu orang luar untuk datang melayani orang Papua di kampung-kampung.[2]

Orang Papua asli harus menunjukkan bahwa orang Papua bisa melayani sesamanya orang Papua, ada seorang guru  saya di SMA Adhi Luhur Nabire  pernah mengatakan bahwa, “Anak-anak Papua yang menjadi guru, mantri, bidan, penyuluh pertanian harus betah mendidik serta melatih orang Papua untuk bisa baca, tulis dan hitung. Mantri dan bidan harus betah untuk melayani dan mengajari orang Papua tentang pola hidup sehat. Penyuluh pertanian harus betah melatih orang Papua tentang cara bertani yang baik dan benar.” Sekali lagi, orang Papua harus menjadi guru dan tuan di atas tanahnya sendiri.
****
Apa pun keadaan yang dialami oleh orang Papua saat ini, semuanya berpulang kembali kepada orang Papua sebagai pemilik tanah. Pihak luar hanya numpang tinggal dan mencari rezeki. Orang Papua asli yang menentukan masa depan Papua akan menjadi seperti apa. Semuanya sangat tergantung kepada orang Papua. Karena itu, mulai saat ini dan ke depan, orang Papua harus berani keluar dari sikap egoisnya dan bersama-sama merebut kembali,  Tanah dan Manusia Papua yang sedang dalam kepunahaan. 


Penulis adalah Mahsiswa Papua Kuliah di Yogyakarta.


Refrensi:

[1]. http://indoprogress.com/2015/06/pemekaran-dan-proses-pemusnahan-manusia-papua-melalui-pendidikan/

[2]. http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/dari-papua-untuk-papua_56ef6c6ac2afbd2719fb3aa0
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya