Konsumerisme merupakan paham atau
ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok yang menjalankan proses
konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau
tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan
manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut
tidak dapat dihilangkan. Sifat konsumerisme yang ditimbulkan karena sukanya
seseorang terhadap suatu produk sampai lupa memproduksi sendiri. Dengan kata
lain, kita hanya sebagai pasar dan lihat sesuatu yang modern atau barang baru
langsung beli.
Dalam konteks ini. Tidak di pungkiri
bahwa orang Papua semakin jauh dari
slogan “menjadi tuan di negeri sendiri”. Mengapa demikian ? iya, sudah menjadi
rahasia umum bahwa produksi sandang, pangan, papan maupun teknologi sangat
didominasi orang non-Papua, investor dalam negeri, investor luar negeri dan
korporasi dari luar . Kita hanya sebagai pasar yang membeli produk mereka dan
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka ketimbang membangun diri
kita sendiri atau setidaknya bisa produksi sendiri. Kita masih tidur, terlenah
dengan fenomena teknologi, produk dan gaya hidup modern. Anehnya, kita miskin
tapi mau gaya hedonis seolah-olah mampu, nyatanya itu hanya lelucon.
Kita seakan menjadikan konsumerisme
itu sebagai sebuah budaya dan gaya hidup. Pada hal, konsumerisme itu ancaman
besar karena watak dan karakternya ekspansif. Konsumerisme merupakan hasil dari
praktek kapitalisme, aktor kapitalis (pemilik modal) yang paradigma berpikirnya
bertumpah pada provit (keuntungan/akumulasi modal). Sistem ekonominya lebih
pada pasar bebas, individualis dan tidak mengenal sistem kekeluargaan.
Kapitalisme itu juga bisa memainkan cara berpikir kita. Promosi pemakaian citra
agar kulit putih, iklan produk kecantikan, hp bermerek bagus dan lain-lain
sebenarnya propaganda dari pada paham kapitalisme itu.
Di sisi lain, Apakah pemeritah daerah
sudah membaca fenomena ini ? Saya rasa tidak. Contohnya, Pemeritah memangkas
anggaran untuk sektor pendidikan sejauh ini tapi hasilnya nihil. SDM kita ke
mana ataukah pemda yang tidak punya grand design yang jelas. Papua hari ini
masih sangat tergantung dengan pusat, produk lokal yang di hasilkan pun bisa di
hitung dengan jari. Sedangkan Papua bukan Cuma tambang, tapi harus kita akui
bahwa SDM kita belum mampu karena pemda tidak punya grand design pembangunan ke
mana dan hasilnya untuk siapa. Wacana tentang pembangunannya cerdas tapi apa
yang mau di bangun, hasilnya kita tetap masih tertinggal dari berbagai sektor.
Sebuah ironi, ini era kompetitif
sehingga kalau kita bicara pembangunan yang mengarah pada membangun orang Papua
tentu tidak sembarang. Misalnya, membangun infrastruktur saja tidak cukup
karena setelah jadi infrastruktur kemudian siapa yang akan menguasainya.
Membangun akses apapun di sana pada dasarnya mempertimbangkan banyak aspek
termasuk memberikan ruang bagi orang Papua untuk menguasai sebagian
aksesibilitas itu. Entah itu menciptahkan orang untuk jadi pengusaha agar bisa
bersaing ataukah proteksi kelemahan mereka dengan membuat regulasi yang
mengakomodir kepentingan mereka.
Jadi, paradigma berpikir kita sudah
harus mengarah pada sesuatu yang ada outputnya (hasil) bukan pintar berwacana
tapi hasilnya korup, memperkaya diri sendiri, golongan dan krooni-kroni. Kita
bisa jadi babu di negeri sendiri karena pola pikir konsumtif tinggi, kita bisa
konflik karena cemburu, kita bisa ekslusif karena mudah tersinggung, kita bisa
saling membenci karena kalah bersaing dan lain sebagainnya. Jangan tunggu lagi,
jangan apatis lagi, yang pastinya wujudkan Papua tuan di negeri sendiri dengan
mengintegrasikan kekuatan intelektual dari berbagai elemenen. Dan Papua tidak
akan maju kalau kita tidak berpikir kolektif, bersatu dan tidak frame, artinya
sudah saatnya bersatu. Tanpa itu kita akan tetap seperti ini.
Penulis Lepas Tinggal di kota-Kota
Kolonial