photo anigifklll_zps3axosl7h.gif
» » Konsumerisme Ancaman Bagi Orang Papua

Konsumerisme Ancaman Bagi Orang Papua

Penulis By on Tuesday 18 April 2017 | No comments

                                           Foto: Ist mama Papua sedang berjualan di emperan jalanan



Konsumerisme merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok yang menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat dihilangkan. Sifat konsumerisme yang ditimbulkan karena sukanya seseorang terhadap suatu produk sampai lupa memproduksi sendiri. Dengan kata lain, kita hanya sebagai pasar dan lihat sesuatu yang modern atau barang baru langsung beli.

Dalam konteks ini. Tidak di pungkiri bahwa orang  Papua semakin jauh dari slogan “menjadi tuan di negeri sendiri”. Mengapa demikian ? iya, sudah menjadi rahasia umum bahwa produksi sandang, pangan, papan maupun teknologi sangat didominasi orang non-Papua, investor dalam negeri, investor luar negeri dan korporasi dari luar . Kita hanya sebagai pasar yang membeli produk mereka dan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka ketimbang membangun diri kita sendiri atau setidaknya bisa produksi sendiri. Kita masih tidur, terlenah dengan fenomena teknologi, produk dan gaya hidup modern. Anehnya, kita miskin tapi mau gaya hedonis seolah-olah mampu, nyatanya itu hanya lelucon.

Kita seakan menjadikan konsumerisme itu sebagai sebuah budaya dan gaya hidup. Pada hal, konsumerisme itu ancaman besar karena watak dan karakternya ekspansif. Konsumerisme merupakan hasil dari praktek kapitalisme, aktor kapitalis (pemilik modal) yang paradigma berpikirnya bertumpah pada provit (keuntungan/akumulasi modal). Sistem ekonominya lebih pada pasar bebas, individualis dan tidak mengenal sistem kekeluargaan. Kapitalisme itu juga bisa memainkan cara berpikir kita. Promosi pemakaian citra agar kulit putih, iklan produk kecantikan, hp bermerek bagus dan lain-lain sebenarnya propaganda dari pada paham kapitalisme itu.

Di sisi lain, Apakah pemeritah daerah sudah membaca fenomena ini ? Saya rasa tidak. Contohnya, Pemeritah memangkas anggaran untuk sektor pendidikan sejauh ini tapi hasilnya nihil. SDM kita ke mana ataukah pemda yang tidak punya grand design yang jelas. Papua hari ini masih sangat tergantung dengan pusat, produk lokal yang di hasilkan pun bisa di hitung dengan jari. Sedangkan Papua bukan Cuma tambang, tapi harus kita akui bahwa SDM kita belum mampu karena pemda tidak punya grand design pembangunan ke mana dan hasilnya untuk siapa. Wacana tentang pembangunannya cerdas tapi apa yang mau di bangun, hasilnya kita tetap masih tertinggal dari berbagai sektor.

Sebuah ironi, ini era kompetitif sehingga kalau kita bicara pembangunan yang mengarah pada membangun orang Papua tentu tidak sembarang. Misalnya, membangun infrastruktur saja tidak cukup karena setelah jadi infrastruktur kemudian siapa yang akan menguasainya. Membangun akses apapun di sana pada dasarnya mempertimbangkan banyak aspek termasuk memberikan ruang bagi orang Papua untuk menguasai sebagian aksesibilitas itu. Entah itu menciptahkan orang untuk jadi pengusaha agar bisa bersaing ataukah proteksi kelemahan mereka dengan membuat regulasi yang mengakomodir kepentingan mereka.

Jadi, paradigma berpikir kita sudah harus mengarah pada sesuatu yang ada outputnya (hasil) bukan pintar berwacana tapi hasilnya korup, memperkaya diri sendiri, golongan dan krooni-kroni. Kita bisa jadi babu di negeri sendiri karena pola pikir konsumtif tinggi, kita bisa konflik karena cemburu, kita bisa ekslusif karena mudah tersinggung, kita bisa saling membenci karena kalah bersaing dan lain sebagainnya. Jangan tunggu lagi, jangan apatis lagi, yang pastinya wujudkan Papua tuan di negeri sendiri dengan mengintegrasikan kekuatan intelektual dari berbagai elemenen. Dan Papua tidak akan maju kalau kita tidak berpikir kolektif, bersatu dan tidak frame, artinya sudah saatnya bersatu. Tanpa itu kita akan tetap seperti ini.

Penulis Lepas Tinggal di kota-Kota Kolonial
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya