Yogyakarta Pelita Papua- Dengan menanggapi pernyataan Leo Labladjar, OFM Uskup Jayapura yang mengatakan isu pelanggaran HAM terkait Pidato Perdana Mentri VanuatuVanuatu, Moana Carcasses Kalosil, dalam sidang HAM PBB 4 maret lalu FKPMKP menggelar diskusi bertempat di, kantin Sanata Darma Minggu 16-03-2014.
Ketua Forum Komunikasi Pelajar
Mahasiswa Katolik Papua ( FKPMKP) Maikel
Tekege yang membuka dikusi, sekaligus
menaggapi pernyataan Uskup
Jayapura bahwa : “Gereja ada untuk
keselamatan manusia sendiri. kita sudah tau bahwa geraja mengalirkan aliran
dari Yesus pemimpin agama setempat harus menjalankan ajaran itu, jikalau benar
uskup mejalani aliran gereja. Bukan hayanya dengan kata-kata saj kita menghobat
di mimbar, tetapi kita harus turun melihat di masyarakat HAM
yang terjadi di Papua. Seharusnya uskup harus mengucapkan syukur kepada
pemerintah Vanuatu karena masalah yang di bahas adalah masalah umat dari paus
tersebut. Uskup harusnya berbicara dengan Jujur kerena melalui uskuplah kami
bisa melihat terang Yesus Kristus.”
Lanjutnya Tekege mengatakan bahwa
“Uskup sudah lari dari tugas, kadilan,
dan kebenaran yang terjadi di tanah Papua. Agar supaya kedepannya uskup tidak keliru dengan mengangapi masalah yang terjadi di tanah Papua.” Ujarnya di sela diskusi minggu siang tadi.
Ada beberapa tanggapan dari
beberapa Aggota FKPMKP yang ikut dalam diskusi minggu siang tadi.
Salah satu mahasiswa yang berasal
dari Oksibel Piteng Uropdana menanggapi
pernyataan dari Uskup Jayapura bahawa: “
Dengan alasan yang tidak jelas uskup Jayapura ia Menutup diri agar supaya uskup
ia tidak di ketahui oleh TNI dan Polri
untuk menyelamatkan diri sendiri dari
beribu umat yang sedang di tindas dari HAM. jika melihat dari kebenaran dia
sudah salah, seharusnya Uskupl yang harus memberi nilai kebenaran. Uskup dia memekirkan diri sendiri dari pada
umatnya.” Tegas Uropdana pada diskusi minggu siang tadi.
Salah satu Mahasiswi yang berasal dari Sorong Kabupaten Maibrat
Yulita Mate menanggapi pernyataan dari uskup Jayapura bahwa “Ketika di pandang
dari pihak ini merupakan pihak gereja yang seharusyan di laksanan tetapi ia
sudah menyagkal, jika di pandang dari iman
katolik tentang kebenaran sudah tidak ada, seharusnya ia harus menyuarakan agar
supaya Dunai bisa mengatahui akar masalah tersebut. Lebih baik uskup jujur karena faktanya memeng
pelanggaran HAM sudah terjadi banyak di bumi Papua. Ujar Yulita siang tadi pada
sela sela diskusi.
Salah satu Mahasiswa yang berasal
dari Pegunungan Bintang Frans Kasipmabin
menanggapi bahwa : “Uskup memeng sudah tau masalah ham di Papua karena ia sudah
mengapdi sangat lama di tanah Papua.
Seharusnya peran geraja sangat penting untuk berbicara di depan militer atau
apapaun harus di bicara jikalau kau benar-benar uskup bertindak lah sesuai
dengan misi Gereja Katolik. Memang fakta yang terjadi sementara ini gerja diam
diri. Vanuatu bicara mau merdeka, yang
jadi masalahnya mengapa uskup tidak tau atau ia menyaggal dengan kata kata saya
tidak tau dengan tex pidato. Hal sepeti ini merupakaUskup ini harus diganti
secara cepat karena ia menciderai rakyat yang sedang menderita diatas tanahnya.
Masalah ini harus di di bahas di Publik agama katolik karena uskup benar-benar sudah
menyagkal umatnya.Uskup dan gereja hanya hirarki rakyatnya, tidak serius
mengajarkan umatnya misi ajaran kristus di Tanah Papua.
Salah satu Mahasiswa yang berasal
dari Kabupaten Dogiyai Hery Tebay menanggapi Pernyataan Uskup Jayapura bahwa :
“ Uskup Jayapura seakan-akan baru bangun
dari tidur masalah ini tidak seharusnya di bahas di negara ini saja karena ini
merupakan masalah HAM. Pantas di bicarakan di Papua kerena Papua mau merdeka.
Uskup seharusnya di ganti status hirarki gereja cinta kasih dan harus melihat
HAM di Tanah Papua. Mengapa di Tanah Papua tidak ada orang Papua yang menjadi
uskup padahal banyak orang-orang intelektual Katolik yang berada di Papua Misalnya Pater Neles, Pater Nato Gobay tetapi mengapa hanya orang Timur-Timur, Key dan Jawa
yang menjadi uskup di Tanah Papua. Uskup orang Papua harus ada supaya ia bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungan menyampaikan firman Tuhan dengan situasi budaya setempat yang
ada.” Ujar Tebay pada diskusi Minggu siang tadi. (Andreas Yeimo/Pelita Papua)