photo anigifklll_zps3axosl7h.gif
» » Papua dalam Bidikan Militerisme III

Papua dalam Bidikan Militerisme III

Penulis By on Thursday, 29 January 2015 | No comments




Oleh: Andreas M. Yeimo


Tulisan ini merupakan Penutup dari tulisan sebelumnnya Papua dalam bidikan Kapitalisme dan Papua dalam bidikan Kolonialisme.

Wilayah Papua dijadikan, DOP (Daerah Operasi Militer). Disitulah paham masyarakat yang mendiami di wilayah  nusantara bagian Barat,  menganggap manusia di wilayah Papua adalah TPM dan OPM.

Contohnya ketika masyarakat sipil Papua yang berambut gimbal(talingkar)  dengan membawa anak panah untuk pergi berburu di hutan, yang hendak melewati jalan raya , ataupun mengadakan aksi dengan atribut budaya yang lengkap, militer Indonesia menganggap sebagai TPM atau OPM, akhirnya masyarakat sipil  tersebut di tangkap tanpa keterangan yang jelas,  disiksa di proses secara hukum dan fonis secara bertahun -tahun.

Tidak ada kepercayaan antara  pemerintah NKRI  dan masyarakat sipil di wilayah Papua, yang ada hannya sifat  membenci  membunuh  membedakan perbedaan dari Ras, Agama, dan Adat Istiadat.

Pembunuhan, penyiksaan  mulainya nyta terjadi  di wilayah atau kalangan umat manusia, hingga jumlah warga sipil yang disiksa, yang mengakibatkan cacat fisik dan meninggal dunia, tanpa melalui proses hukum terus bertambah.

Seperti yang di kutip dalam Buku Karya Markus Haluk Aparat keamanan (TNI-POLRI), yang melakukan penyiksaan  tidak sentuh oleh Hukum, kecuali kasus penyiksaan warga sipil di Kabupaten Puncak Jaya oleh tentara yang di ajukan ke meja pengadilan militer, yang disebabkan oleh besarnya desakan dan tekanan publik, baik nasional maupun Internasional.Karena diadili di pengadilan militer bukan pengadilan hak asasi manusia, maka pelakunya dijatuhkan hukuman ringan.

Maka  Pemerintah Republik Indonesia, sebagai Komnas HAM PBB mempunyai kewajiban memberikan laporan periodik tentang Udang udang No. 5 tahun 1998 untuk pertama kali pada tahun 2001, dalam sidang ke-27, 12-23 November lalu.

Indonesia mengadopsi anti Penyiksaan dalam UUNo.5 tahun 1998, namun fakta di lapangan kekerasan masih saja terjadi di berbagai tempat, khususnya di tanah Papua [1].

****
Didalam dinding tahanan denyupnya kemesrahaan  di terimah oleh para tahanan politik yang di fonis selama bertahun-tahun, itu memang sangat menderita, ketika kita melihat dari sisi kehidupan di dalam tahanan.

Contohnya: Ada banyak masalah dalam penjara di Indonesia, seperti kelebihan kapasitas para tahanan dan harus tinggal lebih lama karena macetnya pengurusan administrasi, ditambah pula kondisi penjara yang buruk. Seperti penjara lainnya, penjara di Papua Barat memiliki persoalan yang sama, misalnya penjara Abepura, Fak-Fak, Manokwari, Sorong dan Merauke memiliki kelebihan jumlah tahanan dari kapasitas penjara. 28 Di penjara Abepura dimana sekitar 10 tahanan politik ditahan, sekarang sudah melebihi 141% dari kapasitas penjara, dan telah terlihat banyak kerusuhan akibat kondisi yang buruk dan perlakuan kejam terhadap sesama tahanan.

Menurut para pengacara HAM yang ada di Jayapura, penjara-penjara yang ada di Papua Barat mengalami masalah kekurangan air bersih, kurangnya fasilitas medis, kesombongan para sipir, dan penggunaan kekerasan di dalam penjara.

Para tahanan politik di Papua Barat mungkin yang lebih mudah mendapat tindakan kekerasan dan diskriminasi. Kepala delegasi ICRC Indonesia mencatat resiko seperti ini pada tahun 2009, ketika dia dipaksa meninggalkan Papua Barat dengan mengatakan, “Orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan yang lalu dikatakan makar, atau tindakan perlawanan dapat saja beresiko mendapat tindakan diskriminasi.”

Sementara pemerintah tetap menekankan bahwa tahanan politik hanyalah para pelaku kejahatan biasa, namun pada kenyataannya mereka diperlakukan sangat berbeda dalam sistem penjara. Menurut laporan tahunan para pengacara Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) yang berbasis di Jayapura perbedaan ini “dapat dilihat pada perbedaan dalam waktu kunjungan, pihak-pihak yang diijinkan mengunjungi, sampai pada ijin tertentu dari otoritaas tertentu.” Selanjutnya, para tahanan tidak dihiraukan “hak-hak yang semestinya diberikan oleh suatu lembaga pemasyarakatan dan kanwil hukum dan HAM.”[2]

****
Berbagai macam bentuk pelanggaran ham yang di lakukan oleh aparat  brutal TNI dan POLRI, yang telah menewaskan serta menghancurkan hak-hak sipil di wilayah Papua, yang sudah menjadi fakta dan kenyataan pelanggarang ham berat,  yang harus di dilihat oleh pemerintah pusat pada awal  tahun 2014 hingga akhir tahun 2014 adalah sebagai berikut.
Keluarga Demi Kepno (28), salah satu warga sipil yang ditembak mati aparat kepolisian usai kericuhan di Pasar Youtefa, 2 Juli 2014, sekitar pukul 16.00 WIT, mengaku almarhum sama sekali tidak terlibat dalam aksi yang menyebabkan kematian salah satu anggota polisi.

Keluarga besar masyarakat Jayawijaya, Jumat (4/7/2014) sore tadi, mendatangi RS Bhayangkara untuk menjemput jenazah Jenias Wanimbo (22), mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jayapura yang menjadi korban peluru aparat keamanan saat ricuh di Pasar Youtefe, 2 Juli 2014 lalu.

Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Sorong Raya, Marthinus Yohame, ditemukan seorang nelayan dengan kondisi tubuh terikat tali, luka tembak di dada sebelah kiri, luka lebam di sekujur tubuh, dan diisi di dalam karung, dan tewas menggenaskan.

Sekitar pukul 10.20 WIT, Aparat Kepolisian Resort Kota (Polresta) Jayapura, siang tadi, membubarkan aksi demo damai yang dilakukan Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR), di Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen), Papua.

Di Provinsi Daerah Istimewa Jogyakarta, ruang untuk menyampaikan pendapat di muka umum benar-benar dibungkam oleh pemerintah Indonesia melalui Organisasi Masyarakat Sipil (Ormas) dan aparat kepolisian.
Pasca rusuh di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Senin (30/9/2014), yang menyebabkan dua warga sipil, Seprianus Japugau (30), dan Benyamin Agimbau (44) tertembak timah panas aparat Brimob, dikabarkan lapangan terbang dipalang sejumlah warga sipil.

Dua orang bersenjata laras panjang di Jalan Trans Irian Nabire-Ilaga, KM 74, Nabire, Papua, Kamis (18/9/2014) lalu, sekitar pukul 15.00 Waktu Papua, telah menembak mati seorang warga sipil, Jhon (Videlis) Agapa (36) hingga tewas.

Rigo Wenda, mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen), saat ini sedang kritis di Rumah Sakit Dian Harapan Waena, karena kena tikaman dari sejumlah orang yang diduga kuat oknum anggota TNI yang bertugas di Pos Koramil Perumnas III, Waena, Jayapura, Papua, subuh pagi tadi.

Seorang mahasiswa Papua, Petius Tabuni, meninggal karena dibunuh pada Minggu (19/10/14) di Kota Tondano, Sulawesi Utara, pukul 03.00 subuh. Pelaku pembunuhan tidak diketahui.
Mahasiswa Papua, Charles Sinumbi (21), yang kena tikam Orang Tidak Dikenal (OTK), di Asrama mahasiswa Papua, di Jalan Mappala, Kecamatan Rappocini, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Selasa (23/11/2014), akhirnya meninggal dunia.

Meki Nawipa (19), anak Kepala Suku Mee di Timika, yang tertembak peluru aparat Brimob Polda Papua, Sabtu (10/01/2015) malam, dikabarkan seorang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yayasan Pendidikan dan Pelayanan Guru Indonesia (YPPGI) Timika, Papua [3].

Pada Minggu (7/12/2014) di Lapangan Karel Gobay, Enarotali, Kabupaten Paniai, sebuah kejadian aneh yang membawa 5 nyawa manusia (warga sipil Papua) melayang dan 6 orang lainnya luka-luka [4].

Kasus pelanggaran Ham di tahun 2014 semuannya masih belum di tuntaskan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat, semua membisu atas kasus yang terjadi di wilayah Papua. Kapankah kasus tersebut akan di tutaskan melalui Hukum yang berlaku di Indonesia.
****
Tindakan brutal yang di lakukan dengan kekuatan militer Indonesiaa sudah menjadi adat di wilayah Papua.Untuk mengakhiri tindakan sewenang-wenang yang bernuansa politik, penangkapan , kekerasan dan perlakuan buruk di Papua Barat.

Persatuan harus di bangun melalui tali kasut merah yang telah di putuskan oleh kapital dan kolonialime dengan kekuatan militer. Maka perjuangan yang kita juangkan tidak  hannya sedangkal berbicara, tetapi harus ada yang menyuarakan melalui aksi media masa dan dialong karena masalaha Papua yang telah di temukan oleh tim LIPI  ada 4 permasalahan pokok sebagai berikut.

Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia.
Kedua, masalah operasi militer yang terjadi karena konflik tersebut di atas yang tak terselesaikan.
Ketiga, semua hal di atas membuat masyarakat Papua timbul stigma sebagai orang yang termarjinalisasikan.
Keempat, kegagalan pembangunan Papua [5].

****
Masih ada banyak persolan di wilayah Papua yang tidak  terlihat oleh publik, tetapi hasil dari akar permaslahan di wilayah Papua yang telah di teliti oleh tim LIPI, agar masyarakat pribumi bisa membuka  mata   dan tergerak hati, untuk melawaan.

Permasalah di wilayah Papua masa silam dan  dan masa kini,  merupakan beban buat  anak  generasi muda sekarang, untuk menyelesaikannya. Ketika generasi sekarang membiarkan permasalahan di wilayah Papua, maka permasalahan ini akan tumbuh kembang menjadi 1000 permasalahan yang harus di lawan, ketika di ibaratkan 2000 tahun kemudia Papua akan menjadi nama tetapi makluknya hilang di telang oleh kaum penguasa Dunia.

Untuk komnas HAM beserta rombangan kerabat kerja, segera renovasi hukum yang berlaku di wilayah Papua, agar supaya  hukum yang berlaku di tanah Papua, tidak hannya semata teori belaka tetapi bisa terlindungi, karena fakta hukum Inodonesia sudah nyata gagal melindungi masyarakat sipil di wilayah Papua.

Untuk Presiden Indonesia Jokowi jangan hannya janji diatas janji ,untuk membangun wilayah Papua, tatapi presiden harus menyelesaikan masalah Papua terlebih dahulu,  seperti  yang telah di temukan oleh tim LIPI.

Dengan tegas penulis bisa mengatakan kepada Stakaholder  di wilayah Papua,  bahwa hukum Indonesia yang harus di proses,di adili dan di penjarakan, bukan masyarakat Papua yang di bunuh di sisksa dan di penjarakan, karena manusia di Papua berbicara keadilan dan kebenaran, buat tanah dan hak hidup manusia Papua masa depan.

Semoga melalui tali kasut  yang sudah di putus-putuskan oleh kaum kapitalisme, kolonialisme dan militerisme di wilayah Papua,  bisa tersambung kembali hingga masyarakat pribumi   bisa sadar dan melawan, hingga menemukana titik merah permaslahan, yang dulu dihilang dan di sembunyikan oleh OTK (orang tak dikenal).

Anderas M. Yeimo mahasiswa Papua Kuliah di yogyakarta.


Referensi: 

[1]. Haluk, Markus. Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua, 2013.


[3]. http://suarapapua.com/fokusberita/34/pelanggaran-hak-asasi-manusia-/2014

[4]. http://majalahselangkah.com/content/aparat-brutal-tembak-mati-4-warga-sipil-6-dirawat-di-rsud-paniai

[5]. nasional.news.viva.co.id/news/read/264390-riset-lipi--empat-akar-masalah-papua
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya