Oleh: Andreas M. Yeimo
Tulisan ini merupakan Penutup dari tulisan sebelumnnya Papua dalam
bidikan Kapitalisme dan Papua dalam bidikan Kolonialisme.
Wilayah Papua dijadikan, DOP (Daerah Operasi Militer). Disitulah
paham masyarakat yang mendiami di wilayah
nusantara bagian Barat, menganggap manusia di wilayah Papua adalah TPM
dan OPM.
Contohnya ketika masyarakat sipil Papua yang berambut gimbal(talingkar) dengan membawa anak panah untuk pergi berburu
di hutan, yang hendak melewati jalan raya , ataupun mengadakan aksi dengan
atribut budaya yang lengkap, militer Indonesia menganggap sebagai TPM atau OPM,
akhirnya masyarakat sipil tersebut di
tangkap tanpa keterangan yang jelas,
disiksa di proses secara hukum dan fonis secara bertahun -tahun.
Tidak ada kepercayaan antara
pemerintah NKRI dan masyarakat
sipil di wilayah Papua, yang ada hannya sifat membenci membunuh membedakan perbedaan dari Ras, Agama, dan Adat
Istiadat.
Pembunuhan, penyiksaan
mulainya nyta terjadi di wilayah
atau kalangan umat manusia, hingga jumlah warga sipil yang disiksa, yang
mengakibatkan cacat fisik dan meninggal dunia, tanpa melalui proses hukum terus
bertambah.
Seperti yang di kutip dalam Buku Karya Markus Haluk Aparat
keamanan (TNI-POLRI), yang melakukan penyiksaan tidak sentuh oleh Hukum, kecuali kasus
penyiksaan warga sipil di Kabupaten Puncak Jaya oleh tentara yang di ajukan ke
meja pengadilan militer, yang disebabkan oleh besarnya desakan dan tekanan
publik, baik nasional maupun Internasional.Karena diadili di pengadilan militer
bukan pengadilan hak asasi manusia, maka pelakunya dijatuhkan hukuman ringan.
Maka Pemerintah
Republik Indonesia, sebagai Komnas HAM PBB mempunyai kewajiban memberikan
laporan periodik tentang Udang udang No. 5 tahun 1998 untuk pertama kali pada
tahun 2001, dalam sidang ke-27, 12-23 November lalu.
Indonesia mengadopsi anti Penyiksaan dalam UUNo.5 tahun
1998, namun fakta di lapangan kekerasan masih saja terjadi di berbagai tempat,
khususnya di tanah Papua [1].
****
Didalam dinding tahanan denyupnya kemesrahaan di terimah oleh para tahanan politik yang di
fonis selama bertahun-tahun, itu memang sangat menderita, ketika kita melihat
dari sisi kehidupan di dalam tahanan.
Contohnya: Ada banyak masalah dalam penjara di Indonesia,
seperti kelebihan kapasitas para tahanan dan harus tinggal lebih lama karena
macetnya pengurusan administrasi, ditambah pula kondisi penjara yang buruk.
Seperti penjara lainnya, penjara di Papua Barat memiliki persoalan yang sama,
misalnya penjara Abepura, Fak-Fak, Manokwari, Sorong dan Merauke memiliki
kelebihan jumlah tahanan dari kapasitas penjara. 28 Di penjara Abepura dimana
sekitar 10 tahanan politik ditahan, sekarang sudah melebihi 141% dari kapasitas
penjara, dan telah terlihat banyak kerusuhan akibat kondisi yang buruk dan
perlakuan kejam terhadap sesama tahanan.
Menurut para pengacara HAM yang ada di Jayapura,
penjara-penjara yang ada di Papua Barat mengalami masalah kekurangan air
bersih, kurangnya fasilitas medis, kesombongan para sipir, dan penggunaan
kekerasan di dalam penjara.
Para tahanan politik di Papua Barat mungkin yang lebih mudah
mendapat tindakan kekerasan dan diskriminasi. Kepala delegasi ICRC Indonesia
mencatat resiko seperti ini pada tahun 2009, ketika dia dipaksa meninggalkan
Papua Barat dengan mengatakan, “Orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan
yang lalu dikatakan makar, atau tindakan perlawanan dapat saja beresiko mendapat
tindakan diskriminasi.”
Sementara pemerintah tetap menekankan bahwa tahanan politik
hanyalah para pelaku kejahatan biasa, namun pada kenyataannya mereka
diperlakukan sangat berbeda dalam sistem penjara. Menurut laporan tahunan para
pengacara Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) yang berbasis di Jayapura
perbedaan ini “dapat dilihat pada perbedaan dalam waktu kunjungan, pihak-pihak
yang diijinkan mengunjungi, sampai pada ijin tertentu dari otoritaas tertentu.”
Selanjutnya, para tahanan tidak dihiraukan “hak-hak yang semestinya diberikan
oleh suatu lembaga pemasyarakatan dan kanwil hukum dan HAM.”[2]
****
Berbagai macam bentuk pelanggaran ham yang di lakukan oleh
aparat brutal TNI dan POLRI, yang telah
menewaskan serta menghancurkan hak-hak sipil di wilayah Papua, yang sudah
menjadi fakta dan kenyataan pelanggarang ham berat, yang harus di dilihat oleh pemerintah pusat
pada awal tahun 2014 hingga akhir tahun
2014 adalah sebagai berikut.
Keluarga Demi Kepno (28), salah satu warga sipil yang
ditembak mati aparat kepolisian usai kericuhan di Pasar Youtefa, 2 Juli 2014,
sekitar pukul 16.00 WIT, mengaku almarhum sama sekali tidak terlibat dalam aksi
yang menyebabkan kematian salah satu anggota polisi.
Keluarga besar masyarakat Jayawijaya, Jumat (4/7/2014) sore
tadi, mendatangi RS Bhayangkara untuk menjemput jenazah Jenias Wanimbo (22),
mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jayapura yang menjadi korban
peluru aparat keamanan saat ricuh di Pasar Youtefe, 2 Juli 2014 lalu.
Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Sorong
Raya, Marthinus Yohame, ditemukan seorang nelayan dengan kondisi tubuh terikat
tali, luka tembak di dada sebelah kiri, luka lebam di sekujur tubuh, dan diisi
di dalam karung, dan tewas menggenaskan.
Sekitar pukul 10.20 WIT, Aparat Kepolisian Resort Kota
(Polresta) Jayapura, siang tadi, membubarkan aksi demo damai yang dilakukan
Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR), di Kampus Universitas
Cenderawasih (Uncen), Papua.
Di Provinsi Daerah Istimewa Jogyakarta, ruang untuk
menyampaikan pendapat di muka umum benar-benar dibungkam oleh pemerintah
Indonesia melalui Organisasi Masyarakat Sipil (Ormas) dan aparat kepolisian.
Pasca rusuh di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua,
Senin (30/9/2014), yang menyebabkan dua warga sipil, Seprianus Japugau (30),
dan Benyamin Agimbau (44) tertembak timah panas aparat Brimob, dikabarkan
lapangan terbang dipalang sejumlah warga sipil.
Dua orang bersenjata laras panjang di Jalan Trans Irian
Nabire-Ilaga, KM 74, Nabire, Papua, Kamis (18/9/2014) lalu, sekitar pukul 15.00
Waktu Papua, telah menembak mati seorang warga sipil, Jhon (Videlis) Agapa (36)
hingga tewas.
Rigo Wenda, mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen), saat
ini sedang kritis di Rumah Sakit Dian Harapan Waena, karena kena tikaman dari
sejumlah orang yang diduga kuat oknum anggota TNI yang bertugas di Pos Koramil
Perumnas III, Waena, Jayapura, Papua, subuh pagi tadi.
Seorang mahasiswa Papua, Petius Tabuni, meninggal karena
dibunuh pada Minggu (19/10/14) di Kota Tondano, Sulawesi Utara, pukul 03.00
subuh. Pelaku pembunuhan tidak diketahui.
Mahasiswa Papua, Charles Sinumbi (21), yang kena tikam Orang
Tidak Dikenal (OTK), di Asrama mahasiswa Papua, di Jalan Mappala, Kecamatan
Rappocini, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Selasa (23/11/2014), akhirnya
meninggal dunia.
Meki Nawipa (19), anak Kepala Suku Mee di Timika, yang
tertembak peluru aparat Brimob Polda Papua, Sabtu (10/01/2015) malam,
dikabarkan seorang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yayasan Pendidikan dan
Pelayanan Guru Indonesia (YPPGI) Timika, Papua [3].
Pada Minggu (7/12/2014) di Lapangan Karel Gobay, Enarotali,
Kabupaten Paniai, sebuah kejadian aneh yang membawa 5 nyawa manusia (warga
sipil Papua) melayang dan 6 orang lainnya luka-luka [4].
Kasus pelanggaran Ham di tahun 2014 semuannya masih belum di
tuntaskan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat, semua membisu atas kasus
yang terjadi di wilayah Papua. Kapankah kasus tersebut akan di tutaskan melalui
Hukum yang berlaku di Indonesia.
****
Tindakan brutal yang di lakukan dengan kekuatan militer Indonesiaa
sudah menjadi adat di wilayah Papua.Untuk mengakhiri tindakan sewenang-wenang
yang bernuansa politik, penangkapan , kekerasan dan perlakuan buruk di Papua
Barat.
Persatuan harus di bangun melalui tali kasut merah yang
telah di putuskan oleh kapital dan kolonialime dengan kekuatan militer. Maka perjuangan
yang kita juangkan tidak hannya
sedangkal berbicara, tetapi harus ada yang menyuarakan melalui aksi media masa
dan dialong karena masalaha Papua yang telah di temukan oleh tim LIPI ada 4 permasalahan pokok sebagai berikut.
Pertama, masalah
sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia.
Kedua, masalah
operasi militer yang terjadi karena konflik tersebut di atas yang tak
terselesaikan.
Ketiga, semua hal
di atas membuat masyarakat Papua timbul stigma sebagai orang yang
termarjinalisasikan.
Keempat,
kegagalan pembangunan Papua [5].
****
Masih ada banyak persolan di wilayah Papua yang tidak terlihat oleh publik, tetapi hasil dari akar
permaslahan di wilayah Papua yang telah di teliti oleh tim LIPI, agar
masyarakat pribumi bisa membuka mata dan tergerak hati, untuk melawaan.
Permasalah di wilayah Papua masa silam dan dan masa kini, merupakan beban buat anak generasi
muda sekarang, untuk menyelesaikannya. Ketika generasi sekarang membiarkan permasalahan
di wilayah Papua, maka permasalahan ini akan tumbuh kembang menjadi 1000 permasalahan
yang harus di lawan, ketika di ibaratkan 2000 tahun kemudia Papua akan menjadi
nama tetapi makluknya hilang di telang oleh kaum penguasa Dunia.
Untuk komnas HAM beserta rombangan kerabat kerja, segera
renovasi hukum yang berlaku di wilayah Papua, agar supaya hukum yang berlaku di tanah Papua, tidak
hannya semata teori belaka tetapi bisa terlindungi, karena fakta hukum Inodonesia
sudah nyata gagal melindungi masyarakat sipil di wilayah Papua.
Untuk Presiden Indonesia Jokowi jangan hannya janji diatas
janji ,untuk membangun wilayah Papua, tatapi presiden harus menyelesaikan masalah
Papua terlebih dahulu, seperti yang telah di temukan oleh tim LIPI.
Dengan tegas penulis bisa mengatakan kepada Stakaholder di wilayah Papua, bahwa hukum Indonesia yang harus di proses,di
adili dan di penjarakan, bukan masyarakat Papua yang di bunuh di sisksa dan di penjarakan,
karena manusia di Papua berbicara keadilan dan kebenaran, buat tanah dan hak
hidup manusia Papua masa depan.
Semoga melalui tali kasut
yang sudah di putus-putuskan oleh kaum kapitalisme, kolonialisme dan
militerisme di wilayah Papua, bisa
tersambung kembali hingga masyarakat pribumi bisa sadar dan melawan, hingga menemukana
titik merah permaslahan, yang dulu dihilang dan di sembunyikan oleh OTK (orang
tak dikenal).
Anderas M. Yeimo
mahasiswa Papua Kuliah di yogyakarta.
Referensi:
[1]. Haluk, Markus. Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua,
2013.
[3]. http://suarapapua.com/fokusberita/34/pelanggaran-hak-asasi-manusia-/2014
[4]. http://majalahselangkah.com/content/aparat-brutal-tembak-mati-4-warga-sipil-6-dirawat-di-rsud-paniai