Foto Ist: Group Mambesak
Soalnya
sederhana saja. “Mengapa Arnold Clemens ‘Ap’ menyanyi dengan groupnya
Mambesak?” Gampang saja, dijawab dengan sudut pandang sendiri. Ada yang
mengatakan untuk menghibur, mengangkat budaya Papua ke permukaan, membangun
persatuan orang Papua melalui budaya.
Macam-macam
jawaban muncul tetapi Arnold Clemens Ap bersama rekan-rekan sendiri telah
merumuskan jawaban atas pertanyaan itu dengan singkat, padat dan jelas. Begini
rumusannya.
“Kita
bernyanyi untuk hidup dahulu, sekarang dan nanti,”ungkap Ap bersama Marthinny
Sawaki, Sam Kapisa, Tonny Wolas Krenak, Demianus Wariap Kurni dalam merumuskan
motto group ‘Mambesak’.
Nama
“Mambesak”. Kata pilihan Ap. Mambesak dalam bahasa Biak-Numfor “burung kuning”
atau “burung cendrawasih’. Ap memilih Mambesak dengan alasan burung kuning
sangat dihormati semua suku di Papua sebagai mahkota kebesaran kepala suku.
Ap
mengusulkan itu mengantikan nama group mereka sebelumnya Manyori. Manyori dalam
bahasa Biak, artinya “burung Nuri”. Sam Kapisa mengusulkan supaya nama Manyori
dipertahankan namun Ap menolak dengan alasan burung nuri, burung suci orang
Biak-Numfor saja.
Ide merubah
nama itu saja memperlihatkan kualitas dan kesadaran Ap. Kesadarannya sejalan
dengan motto Mambesak ‘Bernyanyi (memberontak) supaya hidup”. Ap dengan
rekan-rekannya memberontak terhadap pendudukan yang mereduksi potensi
kemanusiaan manusia Papua dengan alasan nasionalisme ata apapun alasannya.
Alasan iman gereja sekalipun Ap memberontak.
Pernyataan
utama pemberontakan mereka dirumuskan dengan baik oleh George Junus Aditjondro
dalam bukunya ‘Cahaya Bintang Kejoara”. Junus merumuskannya begini “Mengapa
musik liturgy gereja mereka, gereja Kristen Injili di Irian Jaya (GKII),
namanya waktu itu (kini GKIP) harus berkiblat ke Eropa (penjajah)? Mengapa tak
boleh berakar dalam kebudayaan mereka sendiri?”
Atau,
rumusan umumnya, mengapa orang Papua tidak bisa menentukan nasib sendiri?
Mengapa para pemimpin gereja di Papua memaksakan orang Papua mengikuti cara
orang Eropa menghayati kekristenannya sementara orang Papua bukan Eropa?
Menurut
Junus, pemberontakan Ap tidak hanya terhadap gereja melainkan juga terhadap
pemerintah Indonesia. Ap tidak puas terhadap cara kerja aparat resmi pemerintah
Indonesia mempromosikan seni budaya penduduk asli Papua. Pengembangan seni
budaya Papua yang terlalu mengambang, tidak berakar pada tari-tarian dan
lagu-lagu yang hidup; yang dinyanyikan rakyat asli Papua.
Kata Junus,
pemberontakan itu membawa Ap bersama rekan-rekannya berkelana ke seluruh
pelosok tanah Papua, menggali, mengarang dan menyanyikan (memberontak melalui)
lagu-lagu dalam bahasa daerah di Papua. Termasuk lagu dalam bahasa Indonesia
dengan irama lagu-lagu asli suku-suku di Papua.
Lagu-lagu
galian dan nyanyikan Mambesak benar-benar menyoal kehidupan orang Papua di masa
lalu, kehidupan yang sedang berlangsung dan prediksikan kehidupan Papua di masa
yang akan datang. Menyoal masa lalu demi melihat dan menyadari dari mana orang
Papua kini berasal dan menentukan masa depan yang lebik baik dengan satu
tindakan nyata.
Ap menyadari
betul, penentuan masa depan Papua tidak akan tercapai dengan pemberontakan atas
nama primodialisme, gunung-pantai. Ap malah memikirkan pemberontakan akan
efektif bila terjadi penyatuan ‘gunung – pantai’ yang terbentuk atas logika
pendudukan. Ap berusaha membatasi tembok pemisah gunung-pantai melalui
lagu-lagu.
Dalam
pengertian ini, lagu-lagu Mambesak tidak sekedar lagu melainkan alat, dialog
melalui seni. Orang Meepago mendengarkan nyayian orang Lapago. Lapago
mendengarkan nyayian orang Tabi. Orang Tabi mendegarkan nyanyian orang Saireri.
Orang Saireri mendengarkan nyayian orang Domberai. Orang Domberai mendengarkan
orang Bomberai dan sebaliknya.
Dialog yang
Ap gagas melalui seni menjadi ancaman terhadap benteng primodiaisme,
kolonialisme, kapitalisme dan moderniemsme yang menggengam Papua. Pemerintah
Indonesia yang menjadi actor yang mengengam Papua khawatir terhadap gerakan Ap
dari gunung ke Pantai.
Cara terbaik
bagi pemerintah yang khawatir memilih jalan pintas menghancurkan kekuatan
Mambesak, memecah belah persatuan orang Papua yang digagas AC Ap melalui
Mambesak Group. Pemerintah pendudukan (Kopassandha/Kopasus) segera bertindak
mengakhiri langkah pemberontakan dengan membunuh Ap dengan sadis dan terencana
pada 26 April 1984 di Pasir Enam Jayapura.
Pembunuhan
Ap berhasil membatasi langkah pemberontakan dan menjadi awal dari bubarnya
group Mambesak. Pemerintah berhasil membuat tidak ada rekan Ap yang meneruskan
pemberontakan, membangun dialog penyatuan melalui seni. Pemberontakan Ap
tinggal cerita sejarah: gagal di tangan pasukan khusus Indonesia saat itu
Kophasanda. Namun, cerita sejarah itu yang pemerintah tidak berhasil
menghilangkan 100 persen dari Bumi Cendrawasih.
Kisah cerita
pemberontakan Ap tidak terbatas, melintasi waktu dan generasi. Kisah Ap melalui
lisan maupun tulisan, bahkan langsung melalui lagu-lagunya. Generasi Papua yang
memberontak hari ini membaca dan merefleksikan Ap sebagai pejuang yang
menginspirasi.
“Kita tidak
boleh diam. Kita harus meneruskan perjuangannya demi mencapai cita-cita
pembebasan bangsa dan tanah air kita,”tegas Nelius Wenda, Ketua Badan Eksekutif
mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura dalam renungan malam dan
pasang lilin pada peringatan tewasnya AC Ap pada 26 April 2016.
Komitmen itu
menjadi jelas bahwa pemerintah berhasil mengambil tubuh Ap tetapi tidak pernah
membunuh idealismenya. Pemberontakan Ap terhadap pendudukan masih hidup dalam
benak dan gerakan generasi muda Papua yang lahir 15 tahun, bahkan 20 tahun
setelah pembunuhannya.(Mawel Beny)