photo anigifklll_zps3axosl7h.gif
» » Mengapa Group Mambesak Harus Bernyanyi?

Mengapa Group Mambesak Harus Bernyanyi?

Penulis By on Thursday, 11 August 2016 | No comments





 Foto Ist: Group Mambesak



Soalnya sederhana saja. “Mengapa Arnold Clemens ‘Ap’ menyanyi dengan groupnya Mambesak?” Gampang saja, dijawab dengan sudut pandang sendiri. Ada yang mengatakan untuk menghibur, mengangkat budaya Papua ke permukaan, membangun persatuan orang Papua melalui budaya.

Macam-macam jawaban muncul tetapi Arnold Clemens Ap bersama rekan-rekan sendiri telah merumuskan jawaban atas pertanyaan itu dengan singkat, padat dan jelas. Begini rumusannya.

“Kita bernyanyi untuk hidup dahulu, sekarang dan nanti,”ungkap Ap bersama Marthinny Sawaki, Sam Kapisa, Tonny Wolas Krenak, Demianus Wariap Kurni dalam merumuskan motto group ‘Mambesak’.
Nama “Mambesak”. Kata pilihan Ap. Mambesak dalam bahasa Biak-Numfor “burung kuning” atau “burung cendrawasih’. Ap memilih Mambesak dengan alasan burung kuning sangat dihormati semua suku di Papua sebagai mahkota kebesaran kepala suku.

Ap mengusulkan itu mengantikan nama group mereka sebelumnya Manyori. Manyori dalam bahasa Biak, artinya “burung Nuri”. Sam Kapisa mengusulkan supaya nama Manyori dipertahankan namun Ap menolak dengan alasan burung nuri, burung suci orang Biak-Numfor saja.

Ide merubah nama itu saja memperlihatkan kualitas dan kesadaran Ap. Kesadarannya sejalan dengan motto Mambesak ‘Bernyanyi (memberontak) supaya hidup”. Ap dengan rekan-rekannya memberontak terhadap pendudukan yang mereduksi potensi kemanusiaan manusia Papua dengan alasan nasionalisme ata apapun alasannya. Alasan iman gereja sekalipun Ap memberontak.

Pernyataan utama pemberontakan mereka dirumuskan dengan baik oleh George Junus Aditjondro dalam bukunya ‘Cahaya Bintang Kejoara”. Junus merumuskannya begini “Mengapa musik liturgy gereja mereka, gereja Kristen Injili di Irian Jaya (GKII), namanya waktu itu (kini GKIP) harus berkiblat ke Eropa (penjajah)? Mengapa tak boleh berakar dalam kebudayaan mereka sendiri?”

Atau, rumusan umumnya, mengapa orang Papua tidak bisa menentukan nasib sendiri? Mengapa para pemimpin gereja di Papua memaksakan orang Papua mengikuti cara orang Eropa menghayati kekristenannya sementara orang Papua bukan Eropa?

Menurut Junus, pemberontakan Ap tidak hanya terhadap gereja melainkan juga terhadap pemerintah Indonesia. Ap tidak puas terhadap cara kerja aparat resmi pemerintah Indonesia mempromosikan seni budaya penduduk asli Papua. Pengembangan seni budaya Papua yang terlalu mengambang, tidak berakar pada tari-tarian dan lagu-lagu yang hidup; yang dinyanyikan rakyat asli Papua.

Kata Junus, pemberontakan itu membawa Ap bersama rekan-rekannya berkelana ke seluruh pelosok tanah Papua, menggali, mengarang dan menyanyikan (memberontak melalui) lagu-lagu dalam bahasa daerah di Papua. Termasuk lagu dalam bahasa Indonesia dengan irama lagu-lagu asli suku-suku di Papua.

Lagu-lagu galian dan nyanyikan Mambesak benar-benar menyoal kehidupan orang Papua di masa lalu, kehidupan yang sedang berlangsung dan prediksikan kehidupan Papua di masa yang akan datang. Menyoal masa lalu demi melihat dan menyadari dari mana orang Papua kini berasal dan menentukan masa depan yang lebik baik dengan satu tindakan nyata.

Ap menyadari betul, penentuan masa depan Papua tidak akan tercapai dengan pemberontakan atas nama primodialisme, gunung-pantai. Ap malah memikirkan pemberontakan akan efektif bila terjadi penyatuan ‘gunung – pantai’ yang terbentuk atas logika pendudukan. Ap berusaha membatasi tembok pemisah gunung-pantai melalui lagu-lagu.

Dalam pengertian ini, lagu-lagu Mambesak tidak sekedar lagu melainkan alat, dialog melalui seni. Orang Meepago mendengarkan nyayian orang Lapago. Lapago mendengarkan nyayian orang Tabi. Orang Tabi mendegarkan nyanyian orang Saireri. Orang Saireri mendengarkan nyayian orang Domberai. Orang Domberai mendengarkan orang Bomberai dan sebaliknya.

Dialog yang Ap gagas melalui seni menjadi ancaman terhadap benteng primodiaisme, kolonialisme, kapitalisme dan moderniemsme yang menggengam Papua. Pemerintah Indonesia yang menjadi actor yang mengengam Papua khawatir terhadap gerakan Ap dari gunung ke Pantai.

Cara terbaik bagi pemerintah yang khawatir memilih jalan pintas menghancurkan kekuatan Mambesak, memecah belah persatuan orang Papua yang digagas AC Ap melalui Mambesak Group. Pemerintah pendudukan (Kopassandha/Kopasus) segera bertindak mengakhiri langkah pemberontakan dengan membunuh Ap dengan sadis dan terencana pada 26 April 1984 di Pasir Enam Jayapura.

Pembunuhan Ap berhasil membatasi langkah pemberontakan dan menjadi awal dari bubarnya group Mambesak. Pemerintah berhasil membuat tidak ada rekan Ap yang meneruskan pemberontakan, membangun dialog penyatuan melalui seni. Pemberontakan Ap tinggal cerita sejarah: gagal di tangan pasukan khusus Indonesia saat itu Kophasanda. Namun, cerita sejarah itu yang pemerintah tidak berhasil menghilangkan 100 persen dari Bumi Cendrawasih.

Kisah cerita pemberontakan Ap tidak terbatas, melintasi waktu dan generasi. Kisah Ap melalui lisan maupun tulisan, bahkan langsung melalui lagu-lagunya. Generasi Papua yang memberontak hari ini membaca dan merefleksikan Ap sebagai pejuang yang menginspirasi.

“Kita tidak boleh diam. Kita harus meneruskan perjuangannya demi mencapai cita-cita pembebasan bangsa dan tanah air kita,”tegas Nelius Wenda, Ketua Badan Eksekutif mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura dalam renungan malam dan pasang lilin pada peringatan tewasnya AC Ap pada 26 April 2016.

Komitmen itu menjadi jelas bahwa pemerintah berhasil mengambil tubuh Ap tetapi tidak pernah membunuh idealismenya. Pemberontakan Ap terhadap pendudukan masih hidup dalam benak dan gerakan generasi muda Papua yang lahir 15 tahun, bahkan 20 tahun setelah pembunuhannya.(Mawel Beny)
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya