Foto Ist: Denias
"Maa, kenapa pas di film Denias, kok orang-orang di desa
Papua itu pada ga pake baju?" "Karena mereka nggak berbudaya, belum
modern seperti kita"jawab ibu itu.
Seperti tersengat rasanya mendengar kalimat dari bibir
seorang ibu muda yang menjelaskan ketelanjangan pada film 'Denias, Senandung di
Atas Awan' pada anaknya - saat mengantri menunggu panggilan customer service
untuk mengurusi kartu ATM yang tertelan.
Ini bukan pertama
kalinya saya mendengar orang mengklaim sebagai 'manusia modern', yang ternyata
didefinisikan berdasarkan referensi yang didapat dari nilai-nilai kehidupan
sosial diri sendiri.Kata-kata 'manusia dan kehidupan modern' itu selalu
dihubungkan dengan: memakai tshirt dan jeans, tinggal di rumah beton atau
apartemen, mengenal telepon dan internet untuk berkomunikasi serta memeroleh
informasi, memasak dengan kompor gas, menganggap manusia-manusia rupawan itu
yang keindo-indoan, dan seterusnya.
Parahnya 'nilai-nilai modern' yang sifatnya sangat subjektif
tersebut sering dipakai sebagai acuan menilai kebudayaan lain.Ketika melihat
sekelompok orang yang masih mengenakan koteka atau malah telanjang, tinggal di
Honai, berkoak[=teriak] antar desa untuk berkomunikasi dan memeroleh informasi
jarak jauh, memasak dengan kayu bakar yang membuat bau asap sebadan-badan, dan
seterusnya - maka dengan mudahnya memberi label 'tidak berbudaya'.
Padahal, yang namanya 'kebudayaan' itu merujuk pada seluruh
aspek kehidupan, mulai dari ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan, agama,
nilai-nilai, norma-norma dan lain sebagainya yang dimiliki masyarakat mana pun,
terbentuk akibat proses belajar manusia di lingkungan yang bersangkutan.Jadi
lucu, kan jika sekelompok masyarakat 'menilai' cara hidup kelompok masyarakat
lain dengan menggunakan nilai-nilai sendiri, bahkan sampai melabeli kelompok
yang dinilai dengan 'kurang berbudaya dari kita'?
Padahal jelas-jelas latar belakang kebudayaan yang mendasari
cara hidup masing-masing kelompok masyarakat berbeda?Contoh, masyarakat Indian
Yanomano di perbatasan Venezuela memperbolehkan anak-anak mereka untuk
mengekspresikan kemarahan dengan menampar muka para bapak, atau Melissa, teman
saya yang tinggal di salah satu negara di Eropa yang memanggil ayah dan ibunya
dengan 'Matt' dan 'Kim' (nama kecil orang tuanya).
Untuk masyarakat kita, dua hal tersebut tentunya dianggap
tabu. Jangankan menampar wajah Bapak saya, waktu tanpa sengaja, saat bercanda
gila-gilaan dengan Bapak, tanpa sengaja saya mengucapkan kalimat : 'Beh, Lo tuh
kacau deh!' saja, yang ada semua mata memandang saya sebagai anak yang lebih
durhaka dari Malin Kundang. [sementara Bapak saya cuma menyambutnya dengan
ketawa-ketawa :P]
Padahal perkara menampar wajah Bapak itu wajar bagi suku
Indian Yanomano serta memanggil 'Matt' dan 'Kim' bagi Melissa itu wajar, sama
sekali tidak mengurangi rasa hormat mereka dengan para orang tua.Atau contoh
lain, ketika saya berada dalam sebuah camp antar bangsa, dan saat itu, karena
keadaan darurat - kami terpaksa makan nasi bungkus tanpa sendok-garpu, bagi
saya dan teman-teman Indonesia lainnya, makan seperti itu sungguh mudah bahkan
nikmat, tapi bagi beberapa bangsa yang ikut saat itu, makanan di atas bungkus
kertas itu menjijikkan [apalagi harus memasukkan makanan-makanan tersebut
dengan tangan ke mulut].
Yang ada, saya hanya tertawa-tawa [plus menganggap aneh
mereka yang tidak bisa makan dengan tangan, bo kocak deh, kertas pembungkus
nasi dilipat, lalu mereka memasukkan nasi ke mulut melalui celah lipatan],
sebaliknya, mungkin mereka juga merasa aneh ketika saya dan teman-teman dengan
santainya menjumput makanan dengan ujung jemari, dan membuat serpihan lauk
serta sambal melumuri tangan dan kuku-kuku kami.
Begitu juga dengan klaim sang ibu bahwa masyarakat Papua yang
digambarkan dalam film 'Denias, Senandung di atas Awan' itu tidak berbudaya,
karena tidak hidup dengan cara [yang dijelaskan sang ibu sebagai cara] hidup
modern. Padahal, masyarakat Papua hidup demikian karena mereka memiliki tata
tingkah laku sendiri - yang jelas-jelas berbeda dengan tata hidup yang
dijalankan sang ibu [dan kita semua], bahkan orang Indonesia sekalipun.Ketika
orang Papua belum berpakaian, bukan berarti mereka tidak berbudaya.
Ketika sang ibu berpakaian, juga belum tentu ia lebih
berbudaya dari orang Papua.Mungkin ada anggapan bahwa cara hidup beberapa
kelompok masyarakat 'aneh' karena berbeda dengan cara hidup kebanyakan dari
kita, karena mereka masih bertahan dengan apa yang mereka percaya di hare gene dengan
berbagai alasan. Cuma label 'tidak berbudaya' itu kok nggak enak banget ya,
didengar? Kesannya kelompok-kelompok yang memiliki cara hidup berbeda itu
berperilaku seperti hmm.. maaf.. binatang?
Tapi, ya sudahlah.. manusia itu kan memang egosentris, jadi
wajar saja jika sulit untuk melepaskan diri dari sikap arogan dengan bersikap
etnosentris [ menilai budaya melalui kacamata sendiri] tingkat tinggi lalu
melupakan kenisbian [relativitas] kebudayaan. Dan dengan enaknya menilai
kelompok lain sebagai : 'tidak berbudaya' tanpa melihat alasan-alasan di balik
semua itu.Pada akhirnya, saya batal nyolot pada ibu tadi, karena keburu
dipanggil oleh mbak-mbak Customer Service di meja nomor 5.
Biarkan sajalah dia tenggelam dalam cara berpikirnya -karena
yang lebih mendesak adalah kembalinya ATM saya *egois mode on, dasar manusia!*
:D
*Sebuah tulisan yang terinspirasi dari celoteh 'tidak
berbudaya' seorang ibu saat menunggu layanan customer service.