Foto Ist: Mama mama Papua sedang berjualan di trotoar jalanan.
Semakin
susah kita bertemu Orang Papua di Tanah Papua. Orang Papua lebih dominan
gunakan sejumlah barang milik penjajah, tetapi seakan itu milik Orang Papua.
Dengan gampang orang Papua bercerita di kedai kemewahan bagaimana menjual
tanah. Menyepakati tanaman, pohon Sagu diganti pohon sawit, Manggrove di ganti
beton, rumah gabah diganti rumah kumuh yang beratap seng.
Himpitan
kehidupan Orang Papua tidak lagi ditemui di jantung2 kota, seperti kisah di
tanah Suku Mauri di Selandia Baru, tanah mereka dikuasai kulit putih dengan
bangunan mewah. Tapi ada baiknya suku Mauri melalui dewan adatnya mengatur agar
kepemilikan tanah tidak beralih tapi tetap milik Suku Mauri dan bangunan di
kontrakan dalam batasan waktu yang disepakati.
Pengalaman
Mauri mesti orang Papua yang ada, hidup di kota2 mulai bercermin karena kita
sedang hidup dengan negara yang tak berpihak pada nilai2 kemanusian. Orang
hilang ditengah kekayaanya, ada dunia dimana Orang Papua tidak lagi memiliki
tanah di daerah perkotaan, tempat siklus ekonomi berputar dengan cepat pada
lingkaran tertentu (elite milik Gubernur, Bupati dan SKPD).
Dalam buku
Road Map, Peneliti LIPI, Muridan dkk bilang kalau Orang Papua sedang di
marginalkan oleh negara dalam aspek Ekonomi, dan belum aspek lainya. Hasil
penelitiann ini amat penting untuk menemukan sebuah konsep ekonomi Orang Papua
di masa depan.
Kalau
menemukan Orang Papua yang susah, terpinggir, luar gedung, dll mmg banyak.
Hampir sebagisn besar jualan tak selalu gunaksn banginan, orang papua menjual
di pinggiran jalan seperti jual pinang pagi dan sore, jual koran pagi hari,
jual ikan segar pagi dan sore, setiap saat jual tanah. Hampir aktivitas orang
papua berputar di rana pola ekonomi subsisten, menjual karena ada kebutuhan
yang mendesak. Bukan menjual untuk mencari kekayaan, kemegahan, dan sifat rakus
ternyata belum terlihat.
Pola ekonomi
subsisten ini kemudian mendorong OAP membutuh sebuah pola-pola pengembangan
ekonomi kebutuhan rumah tangga. Dan kebutuhan pemerintah berlalu bertajuk dari
sebuah paradigma global, universal, kelompok. Ini pendekataan yang biasanya
dapat memiskinkan kehidupan Orang Papua. Kembali bertajuk pola ekonomi
subsitens ini dimaksukan untuk orang menjual at beraktivitas dengan memiliki
nilai2 budaya.
BELAJAR DARI
WAJAH PAPUA
Orang Papua
yang menjual tanah tentu akan diseret dalam hidup yang beratakan, terpinggir,
dan lain. Seretan tersebut sudah dikisahkan, Jika kisah ini nyata maka
kepemilikan kasus ini adalah milik suku atau marga tertentu yang cenderung
menjual tanah, bukan milik kasus universal, papua secara utuh. Kematiaan yang
akan terjadi dalam penjual tanah bukan sajah tubuh, wajah papuanya tetapi
kematiaan nilai2 budaya ikut dimatikan.
Suku-suku yang jual tanah cenderung memiliki mental
yang lemah, dimana belum memiliki budaya pertahanan diri untuk menghadapi
perubahan zaman. Mereka jadi korban dari ekonomi global, dan pola pertahanan
tanah dalam suku yang memiliki karakteristik budaya yang keras cenderung
mengembangkan diri dalam perubahan secara cepat mengalami kemajuaan. Bagi
suku-suku ini tanah bukan sesuatu yang mesti jadi obralan dalam bentuk uang.
Tetapi filosofi suku yang memiliki budaya, tanah dipandang sebagai manusia.
Hanya untuk mempertahankan atau memperluas tanah selalu jadi konflik, perang
suku, ekspĂ nsi, dll.
Dari cara
pandang tentang tanah dari beberapa suku di Tanah Papua, ada suku-suku yang sukanya jual tanahnya dan ada yang
pertahankan tanah sebagai martabatnya. Hal ini berpengaruh pada pola
perkembangan ekonominya. Objek utama suku yang pertahankan tanah sebagai
martabatnya selalu hidupkan ekonomi keluarga, prestise,status sosial, melalui
tanah, pengelolaan disertai dengan hewan-hewan
sakral seperti babi dan tanah-tanah hal tidak bisa di pisahkan.
Kenapa musti
berkebun ?. Dengan berkebun orang akan sehat secara jasmani, memiliki pola
untuk menanam, menuai, dan merayakan hasil tanamana. Pospisil melalui
penelitiaan di daerah Lembah Kamuu, Moanemani ia mengingatkan:
"suku
mee memiliki pola perekonmiaan modern melalui sebuah moment, siklus ekonomi
yang ditimbul melalui corak-corak budaya.
Orang Mee sekalipun hidupnya masih tradisional 1950-an mereka telah memiliki
budaya ekonomi modern".
Saya semakin
terpinak bahwa ini sebuah pernyataan menarik untuk dikembangkan lebih mendalam.
Orang Mee mengembangakan kebutuhan pasar selalu cenderung tidak melihat
kebutuhan pasar tetapi mereka mengembangkan pola ekonomi yang berkarakteristik,
apa yang menjadi potensi daerahnya kemudian dikembangkan di daerah lain. Tempat
dimana dia berdagang selalu sesuai dengan potensi ekologis. Kalau ekologi tidak
mendukung cenderung orang mee tidak berdagang, tidak mengembangkan pola2
ekonominya.
Kata
Marginalisasi dikemukaan oleh Lipi bagi orang Mee selalu didentikan dengan kata
MALAS. ketika orang tidak sadar tetangg siapa saudranya, lahaan ekonomi,
cenderung sifat malas tahu dengan kedaan jadi modal untuk menjadi marginal.
Orang MEE selalu identikan Kata malas dengan orang tidak memiliki pikiran yang
maju, orang seperti ini selalu di cemohkan dan dipinggirkan sampai tidak
diberikan kebutuhan tubuhnya.
Kemajuan
ekonomi keluarga bagi orang Mee adalah sebuah kerja keras, prestasi, dan status
sosialnya.
(*Penulis Lepas Tinggal
di West Papua