photo anigifklll_zps3axosl7h.gif
» » ORANG MEE 1950-AN MEMILIKI KARAKTER EKONOMI MODERN

ORANG MEE 1950-AN MEMILIKI KARAKTER EKONOMI MODERN

Penulis By on Wednesday 18 January 2017 | No comments

Foto Ist: Mama mama Papua sedang berjualan di trotoar jalanan.



Semakin susah kita bertemu Orang Papua di Tanah Papua. Orang Papua lebih dominan gunakan sejumlah barang milik penjajah, tetapi seakan itu milik Orang Papua. Dengan gampang orang Papua bercerita di kedai kemewahan bagaimana menjual tanah. Menyepakati tanaman, pohon Sagu diganti pohon sawit, Manggrove di ganti beton, rumah gabah diganti rumah kumuh yang beratap seng.


Himpitan kehidupan Orang Papua tidak lagi ditemui di jantung2 kota, seperti kisah di tanah Suku Mauri di Selandia Baru, tanah mereka dikuasai kulit putih dengan bangunan mewah. Tapi ada baiknya suku Mauri melalui dewan adatnya mengatur agar kepemilikan tanah tidak beralih tapi tetap milik Suku Mauri dan bangunan di kontrakan dalam batasan waktu yang disepakati.


Pengalaman Mauri mesti orang Papua yang ada, hidup di kota2 mulai bercermin karena kita sedang hidup dengan negara yang tak berpihak pada nilai2 kemanusian. Orang hilang ditengah kekayaanya, ada dunia dimana Orang Papua tidak lagi memiliki tanah di daerah perkotaan, tempat siklus ekonomi berputar dengan cepat pada lingkaran tertentu (elite milik Gubernur, Bupati dan SKPD).


Dalam buku Road Map, Peneliti LIPI, Muridan dkk bilang kalau Orang Papua sedang di marginalkan oleh negara dalam aspek Ekonomi, dan belum aspek lainya. Hasil penelitiann ini amat penting untuk menemukan sebuah konsep ekonomi Orang Papua di masa depan.


Kalau menemukan Orang Papua yang susah, terpinggir, luar gedung, dll mmg banyak. Hampir sebagisn besar jualan tak selalu gunaksn banginan, orang papua menjual di pinggiran jalan seperti jual pinang pagi dan sore, jual koran pagi hari, jual ikan segar pagi dan sore, setiap saat jual tanah. Hampir aktivitas orang papua berputar di rana pola ekonomi subsisten, menjual karena ada kebutuhan yang mendesak. Bukan menjual untuk mencari kekayaan, kemegahan, dan sifat rakus ternyata belum terlihat.


Pola ekonomi subsisten ini kemudian mendorong OAP membutuh sebuah pola-pola pengembangan ekonomi kebutuhan rumah tangga. Dan kebutuhan pemerintah berlalu bertajuk dari sebuah paradigma global, universal, kelompok. Ini pendekataan yang biasanya dapat memiskinkan kehidupan Orang Papua. Kembali bertajuk pola ekonomi subsitens ini dimaksukan untuk orang menjual at beraktivitas dengan memiliki nilai2 budaya.


BELAJAR DARI WAJAH PAPUA

Orang Papua yang menjual tanah tentu akan diseret dalam hidup yang beratakan, terpinggir, dan lain. Seretan tersebut sudah dikisahkan, Jika kisah ini nyata maka kepemilikan kasus ini adalah milik suku atau marga tertentu yang cenderung menjual tanah, bukan milik kasus universal, papua secara utuh. Kematiaan yang akan terjadi dalam penjual tanah bukan sajah tubuh, wajah papuanya tetapi kematiaan nilai2 budaya ikut dimatikan.

Suku-suku  yang jual tanah cenderung memiliki mental yang lemah, dimana belum memiliki budaya pertahanan diri untuk menghadapi perubahan zaman. Mereka jadi korban dari ekonomi global, dan pola pertahanan tanah dalam suku yang memiliki karakteristik budaya yang keras cenderung mengembangkan diri dalam perubahan secara cepat mengalami kemajuaan. Bagi suku-suku ini tanah bukan sesuatu yang mesti jadi obralan dalam bentuk uang. Tetapi filosofi suku yang memiliki budaya, tanah dipandang sebagai manusia. Hanya untuk mempertahankan atau memperluas tanah selalu jadi konflik, perang suku, ekspĂ nsi, dll.

Dari cara pandang tentang tanah dari beberapa suku di Tanah Papua, ada suku-suku  yang sukanya jual tanahnya dan ada yang pertahankan tanah sebagai martabatnya. Hal ini berpengaruh pada pola perkembangan ekonominya. Objek utama suku yang pertahankan tanah sebagai martabatnya selalu hidupkan ekonomi keluarga, prestise,status sosial, melalui tanah, pengelolaan disertai dengan hewan-hewan  sakral seperti babi dan tanah-tanah  hal tidak bisa di pisahkan.

Kenapa musti berkebun ?. Dengan berkebun orang akan sehat secara jasmani, memiliki pola untuk menanam, menuai, dan merayakan hasil tanamana. Pospisil melalui penelitiaan di daerah Lembah Kamuu, Moanemani ia mengingatkan:
"suku mee memiliki pola perekonmiaan modern melalui sebuah moment, siklus ekonomi yang ditimbul melalui corak-corak  budaya. Orang Mee sekalipun hidupnya masih tradisional 1950-an mereka telah memiliki budaya ekonomi modern".

Saya semakin terpinak bahwa ini sebuah pernyataan menarik untuk dikembangkan lebih mendalam. Orang Mee mengembangakan kebutuhan pasar selalu cenderung tidak melihat kebutuhan pasar tetapi mereka mengembangkan pola ekonomi yang berkarakteristik, apa yang menjadi potensi daerahnya kemudian dikembangkan di daerah lain. Tempat dimana dia berdagang selalu sesuai dengan potensi ekologis. Kalau ekologi tidak mendukung cenderung orang mee tidak berdagang, tidak mengembangkan pola2 ekonominya.

Kata Marginalisasi dikemukaan oleh Lipi bagi orang Mee selalu didentikan dengan kata MALAS. ketika orang tidak sadar tetangg siapa saudranya, lahaan ekonomi, cenderung sifat malas tahu dengan kedaan jadi modal untuk menjadi marginal. Orang MEE selalu identikan Kata malas dengan orang tidak memiliki pikiran yang maju, orang seperti ini selalu di cemohkan dan dipinggirkan sampai tidak diberikan kebutuhan tubuhnya.

Kemajuan ekonomi keluarga bagi orang Mee adalah sebuah kerja keras, prestasi, dan status sosialnya.

(*Penulis Lepas Tinggal di West Papua


Baca Juga Artikel Terkait Lainnya